TEMPO.CO, Jakarta - Harga Bitcoin memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah yang sempat dicapainya April lalu. Meski demikian, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut tak semua orang disarankan untuk nyemplung berinvestasi di aset kripto tersebut.
"Saya tidak merekomendasikan Bitcoin untuk investor yang appetite risikonya rendah. Jadi kembali ke profil risiko tiap investor dan berapa porsi dana untuk investasi yang dimiliki," ujar Bhima ketika dihubungi, Kamis, 21 Oktober 2021.
Bhima mengatakan Bitcoin lebih cocok untuk investor dengan profil risiko tinggi. Selain itu, ia menyarankan agar mata uang digital ini hanya dikoleksi sebesar 15-25 persen dari portofolio investasi.
Dengan demikian, ia tak menyarankan investor berspekulasi dengan menempatkan seluruh dananya untuk aset kripto. "Bitcoin ada yang jangka panjang dan biasanya yang punya time horizon panjang, lebih pay off dibanding FOMO (fear of missing out) jangka pendek," tutur Bhima.
Mengenai tren kenaikan harga Bitcoin, Bhima menyebut setidaknya ada empat faktor pendorong. Pertama, kekhawatiran inflasi yang tinggi dalam waktu dekat karena krisis energi dan naiknya konsumsi secara global membuat investor mencari aset selain saham.
Menurut Bhima, dalam kondisi tersebut, Bitcoin menjadi pilihan yang lebih menarik ketimbang saham. "Kami melihat inflasi akan jadi game changer dalam kurun waktu 1-2 tahun ke depan, jadi bullish harga Bitcoin mungkin bertahan cukup lama, apalagi kalau inflasinya lebih tinggi dari konsensus pasar," ujarnya.