TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Besi dan Baja Nasional (IISIA) menyoroti kenaikan impor baja (HS Code 72) Januari-Juni 2021 yang mencapai 3,4 juta ton atau senilai US$ 2,9 miliar. Angka tersebut meningkat 18 persen (year-on-year/yoy).
"Kenaikan impor terbesar untuk kategori flat product terjadi pada product Cold Colled Coil/Sheet (CRC/S)," kata Ketua IISIA Silmy Karim dalam keterangan resmi Senin, 18 Oktober 2021.
Silmy menyebut nilai impor produk ini mencapai US$ 795 juta atau naik sebesar 48 persen. Selain itu, ada juga impor produk Coated Sheet yang mencapai US$ 788 juta atau naik 35 persen.
Sementara untuk long product, kenaikan terjadi pada produk Bar sebesar 20 persen atau senilai US$ 239,5 juta. Berbagai kenaikan impor ini pun dinilai akan mengancam keberlangsungan produsen produk serupa di tanah air.
Tak hanya itu, Silmy menyebut produsen produk Hot Rolled Coil (HRC) lokal pun ikut terancam. Mengingat, HRC ini adalah produk turunan dari CRC/S dan Coated Sheet. "Jika impor baja terus meningkat, maka industri baja nasional akan sulit berkembang," kata Silmy.
Saat ini, kata dia, Indonesia sebenarnya sudah menerapkan upaya pengendalian impor yang diatur dalam kebijakan tata niaga impor persetujuan impor (PI). Namun, Ia menilai kebijakan tersebut masih belum cukup.
Sebab, kebijakan ini hanya berfungsi untuk mengendalikan impor baja dari sisi volume saja. Sebaliknya, kebijakan ini tidak bisa mengubah atau mempengaruhi struktur harga baja impor yang masuk secara unfair trade (dumping).
Padahal, kata Silmy, produk baja impor yang masuk ke pasar domestik saat ini banyak dilakukan dengan cara unfair. Contohnya seperti pengalihan kode HS (circumvention), dumping, serta tidak sesuai dengan SNI.
Untuk itulah, kata dia, perlu adanya kebijakan perlindungan lain. Baik secara tarif measures seperti pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) maupun non-tarif measures seperti penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib untuk seluruh produk baja dari hulu hingga hilir.
Ia menyebut pemberlakuan BMAD merupakan instrumen yang banyak digunakan oleh negara-negara produsen baja dunia untuk melindungi industri dalam negeri. Mulai dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Republik Rakyat Tiongkok, dan India.
Saat ini, beberapa upaya pengenaan BMAD yang telah diajukan oleh produsen baja domestik. Hanya saja, belum semua produk dikenai bea masuk ini, contohnya yaitu CRC/S yang mengalami kenaikan impor 48 persen tersebut. Termasuk, produk impor seperti HRC, Wire Rod, Cold Rolled Coil Stainless Steel.
Selain itu, Silmy juga berharap kebijakan SNI bisa diwajibkan untuk seluruh produk baja dari hulu hingga hilir. Bila tidak memenuhi SNI, maka produk baja tersebut bisa dianggap ilegal dan produsen dilarang mengedarkannya.
Ketentuan soal barang tidak sesuai SNI ini, kata dia, sudah diatur di UU Perindustrian. “Penerapan dan pengembangan SNI tidak lain adalah untuk melindungi keselamatan pengguna produk baja, melindungi industri nasional dari serbuan produk baja impor," kata Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk ini.
Baca Juga: Kemenperin Minta Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Impor Baja CRC Dikaji Ulang