Lingkup keempat adalah penyaluran. Ombudsman mencatat bahwa kebijakan harga eceran tertinggi (HET) cenderung tidak efektif. Perum Bulog selaku penyalur CBP juga memiliki kanal penyaluran yang terbatas untuk mengeluarkan stok yang disimpan.
“Kami menemukan permohonan pelepasan CBP tidak ditindaklanjuti dan penyelesaian penggantian disposal stock tidak efektif,” ucap Yeka.
Terakhir, lingkup pembiayaan CBP. Dari catatan Ombudsman diketahui, proses pembiayaan tidak mendukung tata kelola cadangan beras karena Perum Bulog banyak mengandalkan pinjaman komersial untuk pengadaan. Selain itu, ketiadaan captive market CBP mengakibatkan sirkulasi beras kelolaan Bulog menjadi terbatas.
Dari serangkaian masalah dalam tata kelola CBP itu, Yeka memperkirakan pembenahan akan bergantung pada bagaimana pemerintah merencanakan pengelolaan pada masa mendatang. Idealnya, rencana penyerapan beras baik dari dalam negeri maupun luar negeri, serta kanal-kanal penyaluran telah ditentukan sejak awal.
Tahun ini misalnya mau produksi berapa dan penyaluran berapa, kata Yeka, harus ditentukan sejak awal dengan mengacu pada kinerja tahun-tahun sebelumnya. "Tidak bisa menyerap sebanyak-banyaknya, tetapi penyaluran tidak diperhatikan."
Bulog selaku pengelola cadangan beras pemerintah saat ini diberi amanat untuk mengamankan stok di angka 1 juta ton sampai 1,5 juta ton. Namun, BUMN tersebut hanya memiliki ruang penyaluran untuk stabilisasi harga, bantuan bencana alam, dan golongan anggaran.
BISNIS
Baca: Mulai Besok, Luhut Sebut Ada 9 Daerah yang Masuk PPKM Level 1
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.