Faktor kedua, menurut Rini, adalah jangkauan dari perbankan masih sangat rendah. Masih ada 52 persen atau 95 juta penduduk Indonesia dewasa yang tidak tersentuh perbankan. Sementara 47 juta penduduk dewasa belum tersentuh kredit perbankan. Lalu, ada sekitar 69,5 persen UMKM di Indonesia belum mengakses perbankan.
Penyebabnya, perbankan memasang pembatas yang sangat tebal bagi setiap warga untuk mengakses kredit. Misalnya keharusan kelayakan kredit, yaitu penilaian terhadap calon peminjam terkait kemampuannya membayar angsuran kredit.
Dalam banyak kasus, akses kredit ke perbankan mensyaratkan agunan. "Masalahnya, untuk warga miskin, apalagi yang tinggal di perkotaan, dengan status rumah mengontrak dan pekerjaan tidak tetap, hal tersebut sangat sulit dipenuhi," kata Rini.
Ia menduga rendahnya inklusi keuangan perbankan inilah yang menjadi pintu masuk bagi pinjol, bank plecit, bank keliling, koperasi simpan pinjam bergaya rentenir, dan lain-lain.
Karena itu, ia mengatakan untuk menjawab persoalan itu pemerintah tak cukup hanya dengan mendorong literasi keuangan dan digital. Pasalnya persoalan tidak akan selesai hanya dengan memberantas pinjol ilegal.
Rini lantas menyebut pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih komprehensif. Pertama, memudahkan warga negara maupun pelaku usaha kecil/UMKM untuk mengakses kredit perbankan dengan bunga rendah dan persyaratan yang ringan.
Demi mencegah potensi kredit macet atau gagal bayar, perbankan tak hanya mensyaratkan agunan dan penilaian kelayakan kredit, tetapi juga turut memfasilitasi pengembangan pelaku usaha penerima pinjaman lewat pelatihan kewirausahaan, pengelolaan bisnis, manajemen keuangan, dan teknik pemasaran.