Utang ini, sebagian besar, tidak muncul di neraca pemerintah masing-masing negara. Namun, kebanyakan dari penerima utang mendapat manfaat melalui jaminan atau perlindungan pemerintah, secara eksplisit maupun implisit.
"Ini telah mengaburkan perbedaan antara utang swasta dan publik dan menciptakan tantangan manajemen keuangan publik yang besar bagi negara-negara berkembang," tulis publikasi tersebut.
Laporan AidData yang terbit pada September lalu itu pun menyoroti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang bakal menjebak pemerintah dalam utang besar kepada Cina. AidData mengelompokkan proyek sepur kilat dalam contoh penyaluran utang terselubung dari Cina yang menjebak negara berkembang.
Proyek kereta cepat yang mendapat pendanaan dari China Development Bank itu awalnya dijalankan dengan skema business to business antara perusahaan Cina dan Indonesia. AidData menilai skema ini tidka ideal karena kereta cepat yang akan difungsikan sebagai transportasi publik bakal membutuhkan anggaran negara.
Kekhawatiran itu terbukti setelah Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2021 yang mengubah Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang kereta cepat. Dalam aturan baru tersebut, Jokowi mengizinkan dukungan anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN pada proyek kereta cepat. Padahal, pada aturan lama, proyek ini tidak akan memakai anggaran negara dan tidak mendapat jaminan negara.
CAESAR AKBAR | KORAN TEMPO
Baca: Perjalanan Kereta Cepat: Nyaris Batal hingga Jadi Rebutan Cina-Jepang
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.