TEMPO.CO, Jakarta - Ketua V Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia atau Gaikindo, Shodiq Wicaksono, mengatakan perlunya transisi teknologi terkait peralihan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak menuju kendaraan listrik.
Gaikindo menyarankan peralihan tersebut tidak mengganggu industri pendukung otomotif lainnya.
"Perlu ada transisi teknologi untuk meminimalisir dampak perubahan struktur industri supplier sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Pengalihan teknologi diharapkan berjalan secara alami, bisa cepat atau lambat tetapi sebaiknya mengakomodasi semua pihak," kata Shodiq saat menjadi pembicara webinar 'Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi', Jumat, 15 Oktober 2021.
Shodiq mencatat setidaknya ada 1,5 juta karyawan yang bekerja di industri pendukung otomotif tier 1 sampai tier 3 yang perlu diperhatikan karena akan terdampak kebijakan mobil listrik tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), Hamdhani Dzulkarnaen Salim, memperkirakan sekitar 47 persen perusahaan komponen yang menjadi anggota asosiasinya akan terdampak kebijakan kendaraan listrik.
"Terutama perusahaan yang yang memproduksi mesin dan ribuan komponen di dalamnya, kemudian produsen transmisi juga akan terpengaruh, yang memproduksi tangki dan filter BBM serta oli, sampai exhaust valve pasti akan terpengaruh," terang Hamdhani.
Pengembangan kendaraan listrik di Indonesia, menurut Hamdhani, mau tidak mau akan membuat anggota GIAMM terdampak karena produksinya tidak lagi digunakan untuk membuat komponen baru.
"Untuk bisa melakukan itu, kami perlu partner yang mumpuni di bidang teknologi kendaraan listrik. Sementara kalau diperhatikan, pabrikan otomotif contohnya Toyota, Hyundai, Tesla, dan Nissan itu mereka justru memiliki pabrik baterai sendiri. Buat kami, ini menjadi tantangan," jelasnya.
Terkait hal tersebut, Dosen Desain Produk FSRD-ITB Yannes Martinus Pasaribu menilai, pemerintah memegang peranan penting dalam mensukseskan program kendaraan listrik untuk menekan emisi karbon itu.
Menurut Yannes, Indonesia memiliki potensi besar menjadi negara kaya karena menguasai sekitar 23 persen cadangan nikel dunia, ditambah memiliki sumber daya elemen penyusun baterai litium.
Apabila seluruhnya dipergunakan sebagai modal mendirikan industri baterai nasional, maka bukan tidak mungkin pada 2030 mendatang Indonesia bisa menjadi negara produsen baterai kendaraan listrik terbaik di ASEAN.
Baca juga: Beralih ke Kendaraan Listrik, Ini Daftar Komponen Otomotif yang Bakal Punah
ANTARA