TEMPO.CO, Jakarta - Di sepanjang jalan menuju pelabuhan perikanan Muara Angke, terlihat lembaran-lembaran kain putih bertuliskan “nelayan berduka” atau “nelayan menolak” merentang. Ada yang diikat di tiang penanda jalan, gerbang masuk kawasan perikanan, hingga tembok-tembok pagar gedung.
Bertinta merah, tulisan itu sangat mencolok di bawah terik langit Jakarta Utara terlihat pada Jumat pekan lalu, 8 Oktober 2021. Penolakan nelayan ini berkaitan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berlaku mulai 18 September lalu.
Di Dermaga T, Muara Angke, spanduk serupa dengan ukuran lebih kecil terpasang di beberapa titik. Seorang anak buah kapal—laki-laki berusia sekitar 40-an tahun—yang sedang ripuh mengampelas perangkap cumi-cumi, tak tahu-menahu soal spanduk penolakan nelayan saat ditemui Tempo. Padahal spanduk itu menempel di badan kapalnya yang berukuran 10 GT.
Bendera bertuliskan "nelayan berduka" dikibarkan di kapal nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, 8 Oktober 2021. Tempo/Francisca Christy Rosana
Begitu juga dengan orang-orang yang tengah menurunkan belasan kontainer ikan dari kapal berukuran 8 GT. Sepatah-patah bicara, laki-laki berusia 50 tahun berperawakan jangkung menyarankan Tempo menemui pemilik kapal bernama Sarjoko. “Juragan kapal asal Brebes itu bisa berbicara soal macam-macam."
Kira-kira 300 meter dari dermaga kapal, Sarjoko duduk di papan kayu di sebuah warung beratap terpal. Didahului cerita soal kondisi penangkapan ikan di Teluk Jakarta, ia kemudian mengaku tak banyak mengerti soal penolakan nelayan terhadap PP Nomor 85 Tahun 2021. Penolakan itu diduga tak datang dari nelayan dengan kapal berukuran kecil, seperti dia dan para ABK di Dermaga T.
“Yang bikin (spanduk) bukan nelayan kecil. Mereka itu mengeluh masalah surat-surat,” kata pemilik kapal berukuran 8 GT tersebut.
Dihubungi terpisah pada lain hari, Ketua Nelayan Pursue Shein James Then membenarkan bahwa penentang PP 85 umumnya pemilik kapal ukuran menengah yang terdampak kebijakan anyar KKP. Dia bercerita, sejak beleid itu dan turunannya terbit, besar PNBP yang ditanggung nelayan dengan kapal di atas 30 GT melonjak hingga 600 persen.
Dia juga mengeluh soal penetapan harga patokan ikan (HPI) yang skemanya turut berubah seiring dengan penerbitan PP. “Sebelum ada aturan ini, kewenangan (penetapan HPI) berada di Kementerian Perdagangan. Penetapannya dilakukan secara bersama-sama dengan stakeholder perikanan,” tutur James.