Pada September 2015, Pemerintah Indonesia menolak dua proposal itu karena dinilai tidak feasible. Sebab, kereta cepat harus menggunakan kas negara.
Darmin Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian kala itu mengatakan Jokowi memutuskan membatalkan proyek pembangunan. Selain pertimbangan anggaran, jarak kedua kota yang mencapai 150 kilometer tak memungkinkan untuk ditempuh dengan kereta cepat.
Namun hanya berselang sebulan, pada Oktober 2015, pemerintah berubah pikiran. Rini Soemarno yang saat itu menjabat sebagai Menteri BUMN menggandeng Cina menggarap proyek sepur kilat.
Cina dan BUMN membentuk konsorsium bernama PT Kereta Cepat Indonesia China atau KCIC. Proyek digarap secara business to business. Secara bersamaan, pemerintah memastikan proyek tidak didanai negara. Ketentuan proyek kereta cepat, termasuk pendanaan, diatur dalam Perpres 107 Tahun 2015.
Pada Januari 2016, pemerintah memasukkan daftar proyek ini ke proyek strategis nasional. Peletakan batu pertama dilakukan pada 21 Januari dengan target awal penyelesaian kala itu pada 2019.
Dua tahun kemudian, KCIC memperoleh kucuran utang sebesar US$ 810,4 juta. Utang diberikan dalam tiga tahap. Adapun modal itu berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB).
Pada Maret 2021, biaya pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak akibat munculnya berbagai kebutuhan yang tidak diprediksi pada awal proyek. Anggaran dadakan yang muncul antara lain akibat kenaikan biaya pembebasan lahan dan perubahan harga pada saat pengerjaan proyek.
Dalam evaluasi atas seluruh aspek proyek tersebut ditemukan pembengkakan biaya alias cost overrun mencapai 23 persen dari nilai awal yang besarnya US$ 6,071 miliar. Pada Oktober 2021, Jokowi meneken Perpres Nomor 93 Tahun 2021. Perpes menyebutkan pemerintah dapat mendukung proyek kereta cepat melalui penyertaan modal negara maupun melalui penjaminan.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | TIM TEMPO
Baca juga: Stafsus Erick Thohir Jawab Faisal Basri Soal Kereta Cepat Rugi Sampai Kiamat