TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah menginisiasi penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset atau RUU Perampasan Aset. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari membeberkan sejumlah latar belakang dalam penyusunan rancangan beleid tersebut.
Rahayu menyebutkan RUU Perampasan Aset adalah didasarkan pada pertimbangan kondisi saat ini bahwa pengelolaan aset rampasan dilakukan oleh beberapa instansi yang berwenang. Namun pengelolaan aset rampasan berdasarkan peraturan perundang-undangan masing-masing membuat pelaksanaannya kurang efektif dan efisien.
Alasan kedua, karena pencatatan aset sitaan dan aset yang dirampas selama ini masih tersebar dan belum terintegrasi. Ketiga, masih banyak aset-aset sitaan dan rampasan yang terbengkalai.
Penyusunan RUU tentang Perampasan Aset tersebut, menurut Rahayu, juga dilakukan sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan bagi Negara Indonesia untuk menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF).
Optimasi penyelamatan aset (asset recovery) pun diperlukan pembentukan suatu Undang-undang dengan mengadopsi ketentuan yang terdapat dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan yang menerapkan skema Non-Conviction Based Forfeiture.
Aturan ini telah diimplementasikan pada negara-negara common law di mana negara dapat memaksimalkan upaya perampasan aset hasil kejahatan tanpa perlu menunggu putusan atas tindak pidana.
Adapun pembahasan RUU dilakukan dalam kerangka Program Legislasi Nasional yang disepakati antara Pemerintah dan DPR yang kemudian dituangkan dalam Keputusan DPR RI yang berisi penetapan daftar RUU Jangka Menengah periode 5 tahun dan penetapan RUU Prioritas Tahunan.
RUU Perampasan Aset telah dicantumkan sebagai RUU Jangka Menengah (periode tahun 2020 sampai 2024) dalam Keputusan DPR Nomor 1/DPR RI/IV/2020-2021 pada nomor urut 137 dan akan diusulkan Pemerintah untuk disepakati menjadi RUU Prioritas Tahun 2022.