TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, melihat perubahan kebijakan pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung akan menimbulkan preseden buruk di masa mendatang. Pernyataan tersebut menanggapi perubahan kebijakan Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang membuka peluang bagi APBN untuk mendanai proyek jumbo itu.
“Di awal pemerintah sesumbar tidak akan menggunakan dana APBN. Ketika perubahan ini terjadi, ke depan ketika ada rencana proyek lainnya, probabilitas (penyelesaiannya) menurun,” ujar Abra saat dihubungi pada Sabtu, 9 Oktober 2021.
Jokowi telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang mengatur pelaksanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Perpres ini menggantikan Perpres 107 Tahun 2015.
Dalam perpres lama, pendanaan proyek kereta cepat tidak menggunakan dana APBN. Namun di aturan baru, pemerintah mengizinkan APBN mendanai kereta cepat dengan memperhatikan kesinambungan fiskal.
Abra menjelaskan perubahan keputusan pendanaan tersebut menjadi bukti ketidak-konsistenan pemerintah. Kebijakan itu juga akan berdampak terhadap tata-kelola proyek yang dikerjakan oleh badan usaha milik negara (BUMN) pada masa mendatang.
“Kalau pemerintah ingin proyek baru pakai KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha), investor akan melihat preseden buruk karena mereka khawatir ke depan akan jadi masalah,” ucap Abra.
Di sisi lain, Abra memandang pendanaan proyek kereta cepat ini akan membebani APBN di tengah tergerusnya kemampuan fiskal karena kebutuhan penanganan Covid-19. Sebelum memutuskan mengucurkan uang negara ke kereta cepat, Abra meminta Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pengawas Pembangunan dan Keuangan (BPKP) segera melakukan audit investigasi.
Audit investigasi dapat dilakukan untuk mengetahui akar masalah proyek kereta cepat, termasuk pembengkakan nilai investasi proyek sebesar Rp 27,17 triliun menjadi Rp 113,9 triliun. Abra menduga persoalan-persoalan yang dialami konsorsium kereta cepat saat ini tidak muncul dalam feasibility study.
Selanjutnya, dia mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan kapasitas APBN. Apalagi, Abra mengungkapkan, 2022 merupakan tahun yang digadang-gadang menjadi momentum pemulihan ekonomi.
“Tahun depan juga menjadi tahun terakhir defisit APBN boleh lebih dari 3 persen. Pada 2023, defisit kita harus di bawah 3 persen. Ini jadi problem di saat pemerintah punya program prioritas lainnya,” tutur Abra.
Tak hanya menyoal postur APBN, ia menyatakan pemerintah harus memperhatikan aspek keadilan dari penggunaan uang negara. Anggaran negara, ujar Abra, semestinya dikucurkan untuk proyek-proyek yang inklusif. Bila APBN dialokasikan untuk pendanaan proyek kereta cepat, proyek infrastruktur lainnya di luar Pulau Jawa ditengarai bakal terganggu. “Apalagi kereta cepat ini sifatnya bukan urgen,” katanya.
Baca Juga: Jokowi Alihkan Tugas Kereta Cepat ke Luhut, Indef: Indikasi Ada Masalah