TEMPO.CO, Jakarta - Mulai 1 April 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mulai menagih pajak karbon kepada pengusaha pembangkit listrik tenaga batu bara di tanah air. Tapi penagihan baru akan dilakukan kalau pembangkit tersebut menghasilkan CO2 melebih cap (batas atas emisi) yang ditetapkan pemerintah.
"Sehingga dia bisa membeli karbon kredit ke tempat lain," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers pada Kamis, 7 Oktober 2021. Untuk itulah, kata dia, aturan baru ini akan menciptakan ekosistem baru bernama pasar karbon.
Sebelumnya, sidang paripurna DPR pada hari yang sama telah mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada hari yang sama. Salah satu aturan baru yaitu Pajak Karbon, yang belum pernah ada sebelumnya.
Sri Mulyani menjelaskan dua skema dalam pengenaan pajak karbon ini, berikut rinciannya:
1. Cap and Trade
Contohnya ada sebuah pembangkit A yang menghasilkan CO2 melebih cap. Sementara ada pembangkit B yang menghasilkan emisi di bawah cap.
Maka, pembangkit A harus membeli sertifikat izin emisi (SIE) kepada pembangkit B. Cara lain, pembangkit A bisa membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).
2. Cap and Tax
Pembangkit A lalu memberi SIE dari pembangkit B. Akan tetapi, masih ada sisa kelebihan CO2 yang belum bisa ditutup dengan hasil pembelian SIE tersebut.
Maka sisa emisi tersebut yang akhirnya bakal dikenai pajak karbon. Harganya ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Menurut Sri Mulyani, penetapan cap untuk pembangkit batu baru ini akan ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Pajak di sektor ini jadi tahap awal yang berjalan pada 2022 sampai 2024.
Barulah pada 2025, implementasi pengenaan pajak karbon dilakukan secara penuh sesuai kesiapan masing-masing industri. Karena ada perdagangan karbon, maka prosesnya akan dijalankan melalui bursa karbon.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan Rp 30 ini adalah tarif terendah. "Artinya ini bisa disesuaikan, sesuai dengan harga karbonnya sendiir," kata dia.
Karena ada dua skema dalam pajak karbon ini, maka Suahasil menyebut butuh infrastruktur untuk menjalankannya. Ia pun menyebut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kini sudah mulai menyiapkan perangkat tersebut.
BACA: Bappenas Usul Pungutan Pajak Karbon Tak Membebani Dunia Usaha