TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad melihat ada potensi realisasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) melebar di atas 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023. Hal itu berkaca dari yang sudah terjadi sekarang, terutama di kinerja penerimaan negara, maupun perpajakan.
"Pertama, disebabkan karena memang situasi pemulihan di penerimaan negara itu tidak mudah dilakukan dalam kondisi pemulihan ekonomi," kata Tauhid dalam diskusi virtual, Rabu, 6 Oktober 2021.
Menurut dia, tumbuhnya penerimaan khusus dari perpajakan bergantung dari pemulihan pada industri, manufaktur, dan sektor perdagangan. Jika sektor itu tumbuh pulih, maka penerimaan pajak menjadi tumbuh.
Kedua, kata dia, dari sisi pengeluaran terutama basisnya konsumsi, masih rendah dibandingkan pertumbuhan belanja investasi pemerintah dan ekspor impor. Sehingga, kata dia, sumber pajak pertambahan nilai atau PPN yang basisnya adalah konsumsi, jauh lebih lambat dibandingkan perkiraan semula.
"Itu yang saya kira kenapa punya peluang (defisit APBN) berpotensi melebar (lebih dari 3 persen di 2023), kecuali benar-benar atau mau tidak mau belanja untuk pemulihan ekonomi ahirnya dikurangi secara drastis," ujar Tauhid.
Adapun Tauhid menilai pemerintah sedang mengejar target defisit 3 persen di 2023. Di mana, kata dia, untuk mencapai itu, dibutuhkan sekitar Rp 600-700 triliun pada 2023.
Salah satu upayanya dengan Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau RUU HPP, di mana pemerintah menaikkan tarif PPN jadi 11 persen yang dilakukan per April tahun depan.
"Tanpa ada kenaikan sumber penerimaan negara khususnya pajak itu sangat sulit target defisit tersebut dicapai," kata dia.
Padahal, menurut Tauhid kenaikan PPN itu, tidak perlu dilakukan di masa pemulihan ekonomi.
Baca: Ibu Asal Wonogiri Ini Bunuh Diri Tak Kuat Ditagih Pinjol Ilegal, Respons OJK?