TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah riset yang dirilis oleh AidData mencatat kebangkitan 'utang tersembunyi' dari Cina kepada sejumlah negara seiring dengan strategi Belt and Road Initiative yang digagas pemerintah Negeri Tirai Bambu.
“Utang yang tidak dilaporkan ini bernilai sekitar US$385 miliar dan masalah utang tersembunyi semakin memburuk dari waktu ke waktu,” ujar Direktur Eksekutif AidData Brad Parks, Rabu, 29 September 2021. Riset tersebut menyoroti utang tersembunyi sejumlah negara pada periode 2000-2017.
Baca Juga:
AidData adalah laboratorium penelitian pengembangan internasional yang berbasis di William & Mary's Global Research Institute. Adapun laporan berjudul Banking on the Belt and Road disusun dengan menganalisis data yang mencakup 13.427 proyek di 165 negara senilai US$843 miliar. Proyek-proyek ini dibiayai oleh lebih dari 300 lembaga pemerintah dan badan-badan milik negara Cina.
Berdasarkan laporan AidData tersebut, besar utang tersembunyi Indonesia kepada Cina mencapai US$ 17,28 miliar (setara Rp 247,10 triliun, kurs Rp 14.300 per dolar AS) atau sebesar 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto.
Di wilayah Asia Tenggara, sejumlah negara tercatat memiliki persentase utang tersembunyi kepada Cina terhadap PDB yang lebih besar daripada Indonesia. Misalnya saja Vietnam 2,8 persen PDB, Myanmar 7,2 persen PDB, Brunei Darussalam 13,5 persen, dan Laos 35,4 persen PDB.
Selain utang tersembunyi, laporan tersebut mencatat Indonesia juga telah menerima pinjaman sebesar US$ 4,42 miliar dari Cina melalui skema Official Development Assistance dan pinjaman US$ 29,96 miliar melalui skema Other Official Flows.
Yang dimaksud dengan utang tersembunyi dalam riset tersebut adalah utang yang kepada negara berkembang bukan melalui pemerintahan negara peminjam. Secara umum, riset yang dirilis akhir bulan lalu itu menunjukkan bahwa sejak dicanangkannya BRI, 70 persen utang luar negeri Cina sekarang diberikan ke perusahaan milik negara, bank milik negara, special mission vehicles, usaha patungan, dan lembaga sektor swasta di negara penerima.
Utang ini, sebagian besar, tidak muncul di neraca pemerintah masing-masing negara. Namun, kebanyakan dari penerima utang mendapat manfaat melalui jaminan atau perlindungan pemerintah, secara eksplisit maupun implisit.
"Ini telah mengaburkan perbedaan antara utang swasta dan publik dan menciptakan tantangan manajemen keuangan publik yang besar bagi negara-negara berkembang," tulis publikasi tersebut.
Penelitian itu pun menemukan bahwa 42 negara sekarang memiliki tingkat eksposur utang publik ke Cina lebih dari 10 persen dari PDB. Mereka juga menemukan bahwa utang-utang ini secara sistematis tidak dilaporkan ke Sistem Pelaporan Debitur Bank Dunia (DRS). Pasalnya, dalam banyak kasus, pemerintah di negara-negara tersebut sama sekali bukan peminjam utama yang bertanggung jawab untuk membayar utang tersebut.
Brad Parks mengatakan tantangan dalam mengelola utang tersembunyi itu bukan tentang pemerintah yang mengetahui bahwa mereka perlu membayar utang yang tidak diungkapkan kepada Cina dengan nilai moneter yang diketahui.
Melainkan, kata dia, tentang pemerintah yang tidak mengetahui nilai moneter utang ke Cina yang mungkin atau tidak mungkin harus dibayar di masa depan.
Baca Juga: Profil 6 BUMN dengan Utang Jumbo, Ada yang Hampir Rp 500 Triliun