Program 35.000 MW, kata dia, juga berjalan terus dan dalam dua tahun ke depan akan masuk sekitar 14.700 MW yang sebagian besar dari PLTU Batu bara. Selain itu, data per akhir Juni 2021, rasio elektrifikasi rata-rata nasional telah mencapai 99,37 persen.
"Namun, masih terdapat beberapa provinsi yang masih perlu perhatian khusus yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua," kata Arifin.
Dia menekankan bahwa berbagai tantangan tersebut menjadi pertimbangan dalam penyusunan RUPTL PLN 2021-2030. Dari serangkaian diskusi yang cukup panjang antara Pemerintah dan PT. PLN (Persero) serta memperhatikan masukan dari Kementerian dan Lembaga terkait, maka telah berhasil dirumuskan RUPTL PLN 2021-2030 yang disahkan melalui Keputusan Menteri ESDM nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021.
"Dengan memperhatikan kondisi PLN, RUPTL PLN 2021-2030 dapat menjawab semua permasalahan di sektor ketenagalistrikan," kata dia.
Pemerintah memutuskan bahwa RUPTL ini membuka peran pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) lebih besar termasuk dalam pengembangan pembangkit berbasis EBT. Hal itu merupakan upaya mencapai target penambahan pembangkit sebesar 40,6 GW selama 10 tahun ke depan dan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan investasi PLN.
Dalam RUPTL ini tidak ada lagi rencana PLTU baru kecuali yang sudah comitted dan konstruksi. Hal ini juga membuka ruang yang cukup besar untuk pengembangan EBT menggantikan rencana PLTU dalam RUPTL sebelumnya.
"Dengan kecenderungan harga PLTS yang semakin murah dan masa pembangunan lebih cepat, untuk pencapaian target 23 persen bauran EBT pada tahun 2025, porsi PLTS didorong lebih besar dibanding RUPTL sebelumnya," ujar Arifin.
Selain itu, pencapaian target bauran EBT akan dipenuhi oleh Cofiring PLTU dengan biomassa dengan tetap memperhatikan lingkungan untuk ketersediaan feedstock.
Baca Juga: ESDM Terbitkan Regulasi Terbaru Dorong Pengembangan PLTS Atap