Laporan ini merupakan hasil kerja bersama antara YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan gerakan #BersihkanIndonesia. Berdasarkan laporan tersebut, ada empat perusahaan yang teridentifikasi menguasai konsesi lahan tambang di Blok Wabu. Satu di antaranya adalah PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) yang diduga terhubung dengan Toba Sejahtra Group.
Luhut, dalam laporan itu, disebut masih memiliki saham di perusahaan Toba Sejahtra Group. Toba Sejahtra Group melalui anak usahanya, PT Tobacom Del Mandiri, disinyalir mengempit sebagian saham PTMQ. West Wits Mining sebagai pemegang saham PTMQ membagi saham kepada Tobacom dalam proyek Derewo River Gold Project.
Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, meminta Kementerian ESDM transparan soal pelepasan Blok Wabu. Setelah tidak lagi dikuasai PT Freeport Indonesia, Ferdy mengatakan wilayah tambang emas itu semestinya diprioritaskan ke perusahaan tambang BUMN, seperti MIND ID.
“Tambang yang diserahkan asing ke pemerintah pusat harus melalui proses tender dan lelang secara transparan dan terbuka di Kementerian ESDM dan prioritasnya adalah perusahaan BUMN. Jika BUMN tak tertarik, baru ke BUMD dan terakhir barulah ke perusahaan-perusahaan swasta melalui mekanisme lelang,” ujar Ferdy.
Blok Wabu, menurut Ferdy, menjadi rebutan karena potensi mineralnya yang besar. Data Kementerian ESDM 2020 menunjukkan, Blok Wabu memiliki sekitar 117.26 ton bijih dengan rata-rata kadar emas 2,16 gram per ton emas (Au) dan 1,76 gram per ton perak.
Artinya, kata Ferdy, setiap 1 ton materal emas dari tanah memiliki kadar sebesar 2,16 gram per ton emas dan 1,76 gram per ton perak. Jika potensi itu diukur dengan harga emas sekarang yang mencapai US$ 1.750 per troy once emas, artinya potensi pendapatan dari perusahaan yang mengolah Blok Wabu mencapai US$ 14 miliar atau nyaris Rp 300 triliun.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: Luhut Soal Tudingan Terlibat Tambang Emas Blok Wabu: Kalau Saya Salah, Dihukum