TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) Ahmad Zabadi menyatakan setiap koperasi syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah.
Namun, kata dia, persoalan yang dihadapi adalah minimnya ketersediaan dewan pengawas syariah karena proses sertifikasi (sebagai syarat menjadi pengawas) belum berjalan secara meluas
“Kami sudah melakukan kerja sama dengan dewan pengawas syariah untuk mendorong menyiapkan ketersediaannya dari dewan pengawas syariah,” ujar dia secara virtual dalam webinar yang diadakan Kemenkop-UKM, Jakarta, Rabu 23 September 2021.
Karena belum terpenuhi, lanjutnya, maka koperasi-koperasi dapat berkoordinasi dengan dewan syariah nasional yang menjadi bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mendapatkan pendampingan selagi pihaknya menyiapkan ketersediaan dewan pengawas syariah.
Zabadi menerangkan koperasi syariah disebut sebagai Baitul Mal, yaitu penyelenggaraan kegiatan infaq, zakat, dan shadaqah yang kemudian disalurkan kepada mustahik (kelompok yang berhak menerima zakat).
“Tentu saja ini didasarkan dalam bingkai pengawasan Badan Amil Zakat Nasional dan Badan Wakaf Indonesia,” ujarnya.
Dalam webinar tersebut, dia juga menyampaikan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah memiliki enam isu utama.
Pertama, mengatur tentang ketentuan pendirian koperasi primer yang minimal oleh 9 orang dan koperasi sekunder paling sedikit tiga koperasi. Kedua, usaha koperasi dapat dijalankan berdasarkan prinsip syariah.
Selanjutnya, terkait dengan penyelenggaraan usaha di koperasi dapat dilakukan secara elektronik. Lalu, rapat anggota dapat dilakukan secara daring maupun luring.
Kemudian, diatur pula mengenai pelindungan usaha koperasi dan bidang usaha yang diprioritaskan. Terakhir, tentang pemberdayaan koperasi.