TEMPO.CO, Jakarta - Eks Menteri ESDM Arcandra Tahar bercerita soal sulitnya meninggalkan penggunaan energi murah seperti batu bara demi mengurangi polusi. Penyebabnya adalah karena penggunaan batu bara di industri saat ini masih sangat besar.
"Apakah ada pilihan bagi pembuat kebijakan dalam mengurangi polusi yang dihasilkan? Tidak mudah untuk menjawabnya," kata Arcandra Tahar di akun Instagramnya arcanda.tahar pada Minggu, 19 September 2021.
Saat ini, kata Arcandra, pembuat kebijakan di berbagai negara menghadapi situasi rumit. Mereka dituntut menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan pencegahan kerusakan lingkungan.
Di satu sisi, energi berperan dalam ekonomi. Makin mahal energi, makin mahal pula barang produksi. Sehingga, kalah saing dengan produk asing, ekspor turun, dan ekonomi melambat.
Tapi sisi lain, energi murah seperti batu bara selalu dikaitkan dengan polusi. Selain di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), batu bara dipakai di industri baja dan semen. Selain untuk pembangkit, batu bara juga dipakai sebagai bahan baku.
Dari data yang ada, Arcandra menyebut 40 persen emisi global berasal dari penggunaan batu bara. Pada 2020, PLTU menyumbang 39 persen dari semua energi listrik yang dibangkitkan di dunia.
Penggunaan PLTU di Asia malah jauh lebih tinggi, sekitar 72 persen. Lalu untuk Indonesia sekitar 50 persen. Sementara di industri baja tanah air, sebanyak 72 persen juga menggunakan batubara.
Meski demikian, Arcandra menyebut ada beberapa pilihan sulit yang mungkin bisa ditempuh. Pertama, melakukan pensiun dini PLTU yang sudah dibangun dan tidak ada lagi izin untuk membangun PLTU yang baru.
Kedua, pembangkit listrik yang akan dibangun hanya yang berbasis pada energi terbarukan. Kelihatannya pilihan ini sangat sederhana, kata Arcandra, tapi ada dampaknya bagi industri dan masyarakat.
Saat ini, dia menyebut kebanyakan PLTU yang sedang beroperasi belum sampai pada tingkat pengembalian modal yang direncanakan. Artinya, pensiun dini berarti kerugian bagi investor. Untuk itu, jalan yang mungkin ditempuh adalah pensiun setelah balik modal.
Di luar itu, masih ada masalah lain dengan penggunaan PLTU berbasis batu bara yang mencapai 39 persen ini. Dari sisi teknikal, butuh smart grid, ketersediaan energi yang terus menerus, hingga baterai untuk back-up.
Dari aspek komersial, tantangannya adalah harga yang lebih tinggi dan lahan yang belum tentu tersedia (untuk pembangkit listrik tenaga surya). Dengan penggunaan energi terbarukan, diperkirakan tarif listrik akan naik yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
"Pertanyaan selanjutnya sudah siapkah warga masyarakat dunia dan pelaku usaha untuk membayar tarif listrik yang lebih tinggi?" kata dia.
Tantangan lainnya yaitu alternatif bagi industri baja dan semen, selain batu bara. "Pilihan apa lagi yang mungkin bisa dilakukan selain pensiun dini untuk tetap menggunakan batubara, namun tidak merusak lingkungan?"
Berbagai pertanyaan ini diajukan Arcandra di tengah pilihan sulit untuk meninggalkan batu bara tersebut. Tapi, dia berjanji masih akan memberikan pandangan lebih lanjut mengenai isu ini ke depannya.
Baca juga: Arcandra Tahar Sebut Gas Tetap Dibutuhkan Meski PLTS Atap Masif Dipakai