Salah satu nasabah yang kehilangan uang, Andi Idris Manggarabni, juga memastikan mereka memiliki bukti setoran dana tersebut. Andi mengirim uang melalui Real-Time Gross Settlement (RTGS) dari berbagai bank ke rekening BNI miliknya.
"Yang ada di BNI itu jelas sekali itu ada rekening korannya kok," kata kuasa hukum Andi Idris, Syamsul Kamar.
Menurut Tulus, kejadian di industri keuangan semacam ini, seperti yang menyangkut dana nasabah, memang mendominasi. Di YLKI, pengaduan terkait jasa keuangan hingga leasing menempati urutan tiga besar. "Artinya ada persoalan pengawasan yang harus dikritisi," kata dia.
Tahun 2019, 46 persen dari total pengaduan konsumen yang diterima YLKI adalah di sektor jasa keuangan. Tahun 2020, angkanya bisa menurun jadi 33 persen. Tapi saat pandemi ini, Tulus menyebut angkanya bisa naik kembali.
Tulus mengkritik aspek pengawasan karena pengaduan semacam ini tidak lagi mendominasi di beberapa negara maju, seperti contohnya Singapura. Di sana, kata dia, sangat jarang ada pengaduan terkait jasa keuangan. Artinya, pengawasan di sana berjalan efektif. "Hanya sekitar 12 sampai 15 persen saja," kata Tulus.
Untuk itu, YLKI pun meminta OJK bisa bisa melakukan beberapa perbaikan. Pertama, memastikan sistem rekrutmen di industri keuangan berjalan baik. Sebab, kasus di perbankan ini juga melibatkan pegawai bank sendiri, seperti di kasus BNI.
Kedua, YLKI juga meminta OJK mengaduit keandalan sistem informasi dan teknologi di perbankan. Menurut dia, ini persoalan klasik yang menjadi titik lemah selama ini. "Perlu diaudit, agar tidak gampang diretas, ataupun dibobol," ujar Tulus.
Tempo menghubungi Kepala Eksekutif Pengawasa Perbankan OJK Heru Kristiyana untuk mengkonfirmasi soal kasus pemalsuan deposito di BNI ini. Hingga berita ini ditulis, OJK belum memberi respons.
BACA: OJK Minta Nasabah Waspadai Modus Terbaru Pinjol Ilegal: Transfer Dana Mendadak