TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI Salusra Wijaya menjelaskan penyebab utama adanya cost overrun atau pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Ia mengatakan porsi terbesar bengkaknya biaya proyek itu terjadi di sisi konstruksi atau EPC dan pembebasan lahan. Menurut dia, pembebasan lahan untuk proyek sepur kilat ini cukup sulit lantaran jalur yang dilalui sangat luas dan melewati daerah komersial.
"Bahkan ada beberapa kawasan industri yang digeser, sehingga cukup costly untuk penggantian," ujar Salusra dalam rapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 1 September 2021.
Bengkaknya biaya itu juga disumbang oleh biaya pendanaan atau financing cost. Keterlambatan proyek, kata dia, menyebabkan beban keuangan berupa bunga selama konstruksi membengkak. Di samping itu, biaya head office dan pra-operasi juga melar.
"Dengan mundurnya proyek ini, beban operasi meningkat dan ada biaya-biaya lain. Ini juga cukup tough karena dengan 142 km jalur ini, itu butuh kekuatan sinyal yang bagus. Jadi ini costly sekali untuk menjaga standar safety dan security yang harus dipertahankan," kata Salusra.
Apabila dirinci, kenaikan biaya EPC diestimasikan sebesar US$ 0,6 miliar sampai dengan US$ 1,2 miliar, kenaikan biaya pembebasan lahan sekitar US$ 0,3 miliar, kenaikan biaya head office dan pra-operasi US$ 0,2 miliar, kenaikan biaya pendanaan US$ 0,2 miliar, dan kenaikan biaya lainnya US$ 0,05 miliar.
Dengan demikian, estimasi cost overrun ini adalah sekitar US$ 1,4 miliar sampai US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 27,17 triliun, dari rencana awal US$ 6,07 miliar. Dari pembengkakan biaya itu, pihak Indonesia yang terdiri dari konsorsium perusahaan BUMN, diperkirakan harus menanggung Rp 4,1 triliun.
"Dari perhitungan ini, ini yang kami ajukan ke pemerintah untuk diusulkan dipenuhi melalui PMN," tutur Salusra.
Baca Juga: KAI Cerita Alotnya Bahas Restrukturisasi Kredit Kereta Cepat, Kenapa?