TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut sebanyak 95 persen pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dimohonkan oleh kreditur. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, pengajuannya menjadi hak debitur.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani melihat munculnya iktikad tidak baik dari fenomena tersebut. Salah satunya, terdapat tekanan yang berisiko menjatuhkan nilai aset suatu perusahaan.
"Kami melihat sudah muncul iktikad yang tidak baik. Dalam arti kata, ada pressure agar harga aset suatu perusahaan menjadi jatuh dan sebagainya," kata Hariyadi, Jumat, 27 Agustus 2021.
Sementara itu, lanjutnya, kreditur sebenarnya sudah memiliki jaminan yang dapat langsung dieksekusi atau mengambil langkah melalui wanprestasi. Dengan demikian, urusan penyelesaian utang seharusnya dapat diselesaikan tanpa harus menutup suatu perusahaan.
Menurut Hariyadi, dengan hal tersebut, dampak yang ditimbulkan, seperti pemberhentian karyawan tidak terjadi. Usul pelaku usaha agar pemerintah melakukan moratorium pun dinilai penting. Terutama, dalam kondisi pemulihan dari pandemi Covid-19.
Bahkan, dia berharap dalam kasus-kasus tertentu yang yang sudah diputuskan pun juga dapat dibatalkan.
"Proses PKPU ini bermata dua. Di satu sisi untuk penyelesaian penundaan pembayaran utang. Di sisi lain, kalau tidak terjadi kesepakatan, perusahaan akan langsung pailit," ujarnya.
Adapun, jelasnya, UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang dibuat pada saat pemulihan ekonomi pascakrisis 1998 dan dipersyaratkan International Monetary Fund (IMF), meskipun memiliki tujuan baik, memiliki perbedaan situasi dengan kondisi sekarang.
Baca juga: Pengusaha Curhat ke Luhut: Mulai Terjadi Gelombang Pengajuan Kepailitan, Kurang Sehat