TEMPO.CO, Jakarta - Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid menceritakan pengalamannya semasa menjadi Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Ia telah mundur sebagai komisaris sejak 12 Agustus lantaran ingin membantu meringankan beban perusahaan.
Yenny mengatakan bekerja di maskapai pelat merah memiliki tantangan besar, apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19. Salah satu tantangannya adalah Garuda sebagai maskapai nasional harus tetap bertahan di tengah menurunnya jumlah penumpang sembari tetap membiayai beban operasional yang terus membengkak.
Ihwal beban operasional ini, Yenny mengeluhkan adanya temuan berbau suap dan KKN pada masa lalu, yang akhirnya membuat keuangan maskapai makin buruk. Temuan ini untuk pengadaan pesawat yang tidak cocok dengan karakteristik perseroan.
“Di Garuda walaupun bikin stres, aduh kenapa krisisnya kayak begini, aduh kenapa korupsi di masa lalu gede banget, aduh kenapa sih kita masih ada tinggalan pesawat masa lalu yang ini mau diapain, tapi tetap ada kecintaan,” kata Yenny Wahid dalam diskusi Live Instagram Tempo, Kamis malam, 19 Agustus 2021.
Pengadaan pesawat bermasalah yang dimaksud putri kedua Abdurrahman Wahid itu adalah armada Bombardier CRJ1000-NG. Per akhir 2020, Garuda tercatat memiliki 18 unit Bombardier.
Kecurigaan adanya praktik lancung juga telah diendus oleh Serious Fraud Office (SFO) atau KPK Inggris. KPK Inggris melakukan investigasi terhadap dugaan suap pengadaan Bombardier dari kontrak lessor dengan Garuda Indonesia pada November 2020 lalu.
Yenny menceritakan bahwa pesawat Bombardier membuat perusahaan terus merugi karena biaya perawatannya sangat besar. “Kalau diterbangi rugi, kalau parkir apalagi. Ibaratnya perusahaan angkot tapi angkotnya Lexus dan kita harus tetap nyicil tiap bulan,” kata Yenny.