TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar bercerita soal keputusan salah negara kaya minyak di benua Afrika, Nigeria, yang mereformasi undang-undang migas mereka. Salah satunya yaitu dengan mengubah sistem cost recovery menjadi gross split (tax and royalty) pada tgl 16 Agustus 2021.
Selain Nigeria, ada juga Petronas Malaysia yang mulai menawarkan sistem Gross Split di awal tahun 2021 untuk Small Field Asset (SFA), dari sebelum Cost Recovery. Sementara Indonesia, kata Arcandra, sudah memperkenalkan sistem gross split sejak Desember 2016.
"Selangkah lebih maju dari Malaysia dan Nigeria," kata Arcandra di akun instagramnya pada Kamis, 19 Agustus 2021. Blok Rokan yang kini dikelola oleh Pertamina pun, kata dia, juga menggunakan Gross Split.
Menurut Arcandra, sistem bagi hasil Gross Split mulai banyak dilirik sebagai ganti dari sistem Cost Recovery yang sudah dipakai sejak tahun 1970-an. Secara garis besar kata dia, perbedaannya terletak pada bagaimana minyak dan gas yang diproduksi tersebut dibagi.
Pada sistem cost recovery, negara mendapat bagian dari minyak dan gas yang diproduksi setelah semua cost dibayarkan ke kontraktor. Misalnya produksi 100 barrel (bbl) dan ongkos produksi 80 bbl, maka sisa 20 bbl dibagi antara negara dan kontraktor.
Jika aturan bagi hasil antara negara dan kontraktor adalah 85 persen dan 15 persen, negara akan mendapatkan 17 bbl dan kontraktor 3 bbl. Tapi keseluruhan, kontraktor sebenarnya mendapat 83 bbl (80+3).
Kelemahan dari sistem cost recovery ini, kata Arcandra, adalah saat ongkos produksi naik menjadi 90 bbl. Sisa produksi yang bisa dibagi hanya tinggal 10 bbl. Artinya negara hanya dapat 8,5 bbl dan kontraktor dapat 91,5 bbl. "Semakin tinggi ongkos produksi yang dikeluarkan kontraktor maka semakin sedikit negara mendapatkan bagiannya," ujarnya.