TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan rasio utang pemerintah pada akhir 2022 mencapai 47,7 persen dari produk domestik bruto atau PDB. Angka ini dihitung dari total utang dan asumsi pertumbuhan ekonomi pada tahun mendatang.
“Jika penambahan utang sebesar Rp 973,5 triliun dilakukan pada 2022 dengan total utang pemerintah diperkirakan Rp 7.975 triliun, kemudian asumsi PDB dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen atau menjadi Rp 16.691 triliun, perkiraan rasio utang pemerintah di akhir 2022 adalah 47,7 persen,” kata Bhima saat dihubungi pada Rabu, 18 Agustus 2021.
Di tengah pandemi Covid-19, Bhima mengatakan sejumlah negara juga mengalami kenaikan rasio utang. Menyitir data global CEIC pada 2020, Thailand mengalami kenaikan rasio utang menjadi 44,9 persen, Malaysia 62,2 persen, India 56,6 persen, dan Brasil 89,1 persen.
Sementara itu, hanya ada beberapa negara yang rasio utangnya turun. Misalnya, Nigeria mengalami penurunan rasio utang menjadi 18,8 persen, Qatar 15 persen, Taiwan 32,7 persen, dan Turki 39,5 persen.
“Namun yang perlu dicermati adalah perbandingan antara kenaikan rasio utang Indonesia dibanding dengan Turki yang justru turun. Padahal 2013, Indonesia bersama Turki masuk sebagai The Fragile Five atau 5 negara yang berisiko tinggi terdampak taper tantrum,” ujar Bhima.
Kondisi itu menunjukkan, jika pemerintah membiarkan rasio utang terus meningkat secara agresif, kondisi ini dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak moneter global. Gejolak tersebut pun bakal meningkatkan risiko terhadap pasar keuangan Indonesia.
“Volatilitas akan bertambah karena porsi SBN nya tinggi sekali dibanding pinjaman,” kata Bhima.