TEMPO.CO, Jakarta -Melantai di Bursa Efek Indonesia bukan gagasan tiba-tiba bagi Bukalapak (BUKA). Muhammad Rachmat Kaimuddin, Chief Executive Officer Bukalapak, sudah lama mengkampanyekan “IPO Ready”.
Istilah tersebut dipakai demi menyiapkan tata kelola dan infrastruktur perusahaan agar mampu menghadapi berbagai perubahan di tubuh korporasi, terutama ketika ada penambahan modal baik lewat putaran pendanaan tertutup maupun dengan go public.
Rachmat menggantikan Achmad Zaky Syaifudin, pendiri Bukalapak, sejak akhir 2019. Sejak saat itu, mantan Direktur Keuangan dan Perencanaan PT Bank Bukopin Tbk ini terus menerima desakan dari investor untuk segera membawa Bukalapak ke lantai bursa.
Setahun lebih berlalu, sinyal menuju pasar modal makin gamblang dalam rapat umum pemegang saham, 30 April lalu 2021. Kala itu, pemegang saham mengangkat dua komisaris independen, yakni mantan Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoto, dan Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid—putri Presiden Abdurrahman Wahid yang biasa dipanggil Yenny Wahid.
Bambang Brodjonegoro juga sekaligus menjadi komisaris utama, posisi yang sebelumnya diisi oleh perwakilan pemegang saham. “Kalau perusahaan swasta menunjuk komisaris independen, itu artinya sedang bersiap menuju Tbk,” kata Bambang, Selasa, 27 Juli 2021 lalu.
Setelah rapat umum itu pula dokumen yang dipersyaratkan untuk pelaksanaan IPO mulai disetor ke Otoritas Jasa Keuangan. Komunikasi tertulis ini kemudian makin intens dan beralih ke pertemuan virtual dengan pejabat OJK dan Bursa Efek Indonesia. Dari kubu manajemen Bukalapak, ada hasrat besar menjadi unicorn pertama di lantai bursa.