Dari tahun ke tahun, pendapatan petani tembakau masih di bawah upah minimum regional atau UMR. Pada 2014, misalnya, upah rata-rata buruh petani tembakau hanya Rp 15.899 per hari atau Rp 413 ribu per bulan. Upah ini tak mencapai separuh dari rata-rata upah nasional pada tahun itu yang sebesar Rp 883 ribu per bulan.
Padahal penerimaan Cukai Hasil Tembakau atau CHT tercatat melonjak signifikan. Sepanjang tahun 2020, pendapatan negara dari cukai tembakau menyentuh Rp 171,9 triliun atau melampaui 2019 yang sebesar Rp 139,5 triliun.
Persoalan dari hulu sampai hilir yang dirasakan para petani tembakau pun tak kunjung usai. Petani acap menghadapi fluktuasi harga yang merugikan karena panjangnya rantai penyerapan komoditas.
Selama ini, jalur rantai tembakau dari petani sampai pabrik harus melewati tengkulak, pedagang, hingga grader. Kondisi tersebut menyebabkan timpang tindih tata niaga yang menimbulkan ketidakpastian bagi kelompok bawah.
Petani menjemur lembaran tembakau rajangandi Desa Dampit, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 23 Agustus 2016. Petani terpaksa menimbun tembakau kering siap jual dalam sepekan ini karena belum ada bandar yang memborong pasca merebaknya isu akan naiknya harga rokok. TEMPO/Prima Mulia
Selain itu, petani mesti menghadapi anomali cuaca yang menimbulkan risiko besar terhadap penanaman tembakau. Ketidakpastian cuaca menyebabkan cost produksi pertanian membengkak.
Belum lagi, ancaman kesehatan proses penanaman tembakau lebih tinggi ketimbang pendapatan yang diperoleh buruh tani. Oleh sebab itu, pemerintah diminta mendorong diversifikasi lahan tembakau untuk penanaman komoditas lainnya yang menguntungkan bagi petani.
Salah satu petani tembakau asal Nusa Tenggara Bara, Jopi Hendrayani, termasuk yang ikut menjerit. Ia menilai nasib petani selama ini tak pernah diperjuangkan oleh pemerintah. Dana bagi hasil cukai hasil tembakau atau DBH CHT pun kerap tidak berorientasi pada kesejahteraan petani.
“DBH CHT tidak pro petani. Dana itu tidak tahu alokasinya di mana. Bahkan ada beberapa dana yang dipakai untuk kepentingan Dewan,” katanya dalam tayangan video webinar AJI Jakarta.
Selain itu, petani tembakau yang tidak masuk kelompok tani terdaftar, acap tidak terjangkau oleh bantuan, seperti bantuan pupuk. Petani pun kerap tidak mendapatkan bantuan dari sisi medis, padahal mereka menghadapi risiko kesehatan yang besar. Dia meminta pemerintah mengeluarkan regulasi untuk pendistribusian bantuan pupuk serta obat-obatan agar lebih menyentuh kalangan petani.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca: Bank Dunia Rekomendasikan RI Naikkan Tarif Cukai Hasil Tembakau, Ini Sebabnya