Lemahnya sikap pemerintah untuk mengendalikan tembakau menyebabkan negara gagal mencapai target rencana pembangunan jangka menengah nasional atau RPJMN untuk mengurangi jumlah perokok, khususnya di tingkat anak. Menurut data Riset Kesehatan Dasar, prevalensi perokok penduduk usia 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
“Indonesia gagal mencapai target RPJMN 2014-2019 untuk menurunkan prevalensi perokok anak dari 7,2 persen menjadi 5,4 persen karena malah meningkat 9,1 persen,” kata Widyastuti.
Kebijakan terhadap industri tembakau dinilai tidak boleh hanya mempertimbangkan keberlangsungan industri rokok, tapi juga melihat dampak buruk bagi masyarakat. Apalagi rokok tercatat menjadi penyebab kematian paling besar. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyebutkan rokok merupakan penyebab utama pemicu penyakit kanker paru-paru dan berkontribusi lebih dari dua pertiga dari kematian akibat penyakit tersebut.
Nafsiah Mboi. ANTARA/Nyoman Budhiana
Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau Nafsiah Mboi mengatakan Indonesia menghadapi ancaman epidemi ganda di tengah merebaknya wabah virus corona. Epidemi itu muncul dari tingginya konsumsi rokok dan pandemi Covid-19 yang belum tuntas ditangani.
“Epidemi karena merokok menambah risiko penularan dan mempercepat kematian bila terinfeksi Covid-19 sehingga presiden bersama para menteri terkait harus bersatu untuk melindungi masyarakat sesuai dengan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” kata Mantan Menteri Kesehatan ini.
Dari sisi ekonomi, konsumsi rokok justru merugikan anggaran pendapatan dan belanja nasional atau APBN. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kesehatan Kementerian Kesehatan pada 2019 mencatat kerugian akibat warga usia produktif yang menjadi tidak produktif karena mengidap penyakit akibat merokok menyentuh Rp 4.180,27 triliun.
Kerugian negara karena konsumsi rokok pun terhitung mencapai sepertiga dari produk domestik bruto (PDB) dan seperlima dari total APBN. Pada tahun yang sama, defisit BPJS Kesehatan karena pembiayaan untuk penyakit katastropik yang dipicu oleh konsumsi rokok mencapai Rp 9,1 triliun.
Petani Tembakau di Bawah Bayang-bayang Risiko
Sementara itu, petani tembakau terus menghadapi masalah berentet di tengah tingginya tekanan industri rokok. Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center atau MTCC Retno Rusdijati mengatakan, mengacu hasil berbagai penelitian, peningkatan produksi konsumsi rokok serta keuntungan berlipat yang dinikmati oleh perusahaan tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani tembakau.
“Padahal petani tembakau adalah ujung tombak dari tata niaga pertembakauan,” kata Retno.