“Industri rokok membentuk opini publik melalui berita dampak revisi PP terhadap kesejahteraan buruh dan petani yang menarik simpati publik untuk mendapatkan dukungan,” ujar Widyastuti. Narasi ini yang disinyalir berkembang sistematis karena industri memiliki hubungan yang harmonis dengan pemerintah.
Alasan adanya penurunan konsumsi tembakau setelah revisi PP terbit pun dianggap tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Widyastuti mengungkapkan industri rokok sudah memiliki konsumen yang loyal. Musababnya industri itu merupakan industri adiktif yang bisnisnya mencari keuntungan dengan cara memanfaatkan atau mengeksploitasi potensi ketergantungan.
Data Badan Pusat Statistik atau BPS menunjukkan jumlah perokok di Indonesia pada penduduk usia lebih dari 15 tahun sejak 2015 hingga 2020 tidak pernah turun signifikan--bahkan saat ketentuan pictorial health warning atau PHW terbit. Pada 2015, persentase merokok penduduk Indonesia pada umur di atas usia 15 tahun tercatat sebesar 30,08 persen.
Ilustrasi larangan merokok. Ulrich Baumgarten/Getty Images
Kemudian pada 2016, persentase perokok turun tipis menjadi 28,97 persen dan pada 2017 naik menjadi 29,25 persen. Selanjutnya pada 2018 naik menjadi 32,20 persen; 2019 turun tipis menjadi 29,03; dan pada 2020 sebanyak 28,69 persen.
“Jadi apakah industri rokok mati setelah ada PP, ada PHW? Tidak. Dalam kasus ini, petani hanya digunakan, petani jadi alat mobilisasi,” ujar Widyastuti.
Soal ini, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok atau Gapero Sulami Bahar mengatakan industri rokok menghadapi tekanan berat selama pandemi Covod-19. Secara agregat, produksi industri hasil tembakau terkontraksi hingga 9,7 persen lantaran melorotnya daya beli masyarakat.
Beban penurunan IHT terus berlangsung hingga 2021. Data Mei 2021 menunjukkan penurunan produksi membayangi industri rokok hingga 4,3 persen.
Oleh karena itu, Sulami meminta pemerintah mengurangi beban pelaku usaha di tengah ancaman Covid-19 dengan kepastian aturan. "Kami menginginkan adanya kepastian kebijakan dari pemerintah yang bisa mengurangi beban pelaku industri hasil tembakau," katanya dalam keterangan tertulis seperti dikutip dari Antara.
Darurat Pengendalian Tembakau
Berbagai pihak terus mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 yang mengendalikan laju industri tembakau. Revisi beleid ini terus tertunda selama tiga tahun. Padahal sesuai amanat Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2018, revisi PP semestinya diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun terhitung sejak Mei 2018.