Pada 2017, Garuda membukukan kerugian US$ 213 juta atau Rp 3 triliun. Kemudian pada 2018, emiten kembali merugi US$ 175 juta dan 2019 buntung US$ 38 juta. Pada saat pandemi Covid-19, rugi Garuda kian berlipat besar menjadi US$ 2,4 miliar atau setara dengan Rp 35 triliun.
Lo membandingkan dengan PT Unilever Indonesia Tbk dengan return on equity atau RoE 140 persen. Unilever mencatatkan ekuitas sebesar Rp 4,9 triliun dengan laba Rp 7,1 triliun. Dia juga menyebut Bank BCA yang terus menorehkan laba tiap tahun. Meski pandemi Covid-19, BCA masih membukukan laba Rp 27,1 triliun.
“Jadi kalau kalau memiliki perusahaan yang untung besar, rasanya investor bisa jadi seperti punya mesin cetak uang,” ujar Lo.
Selain melihat dari portofolio dan profil perusahaannya, Lo mengatakan investor cerdas harus mampu melihat pertumbuhan kinerja entitas. Di sisi lain, Lo menyebut perlunya investor untuk mencermati valuasi perusahaan. Investor yang cerdas, kata dia, bakal memilih perusahaan dengan valuasi murah.
“Jadi ini bukan soal rekomendasi membeli, tapi ini contoh,” kata Lo Kheng Hong.
FRANCISCA CHIRSTY ROSANA
Baca juga: Lo Kheng Hong Ungkap Cara Pilih Saham Perusahaan Bagus dengan Harga Murah