TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pertekstilan Indonesia menanggapi rencana pemerintah mengenakan pajak karbon mulai tahun 2022.
Sekretaris Jenderal API Rizal Tanzil Rakhman menilai pengenaan pajak karbon tersebut kurang tepat jika dibebankan kepada industri dalam negeri. Hal ini akan berimbas pada daya saing industri tekstil terhadap gempuran produk impor.
“Industri dalam negeri akan tersiksa. Biaya beban kerja akan naik seiring dengan pemberlakuan pajak karbon yang diterapkan oleh pemerintah. Pengaruh tersebut akan berimbas pada kenaikan harga produk industri tekstil sebesar 20 persen,” kata Rizal dinukil keterangan tertulis, Kamis, 29 Juli 2021.
Sebelumnya, Pemerintah sedang merancang pengenaan pajak karbon mulai tahun 2022 dengan tarif Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Pajak karbon ini diyakini dapat mengurangi emisi karbon dalam upaya memitigasi perubahan iklim.
Rizal menjelaskan bahwa industri tekstil menghasilkan emisi karbon dalam proses produksinya. Proses polimerisasi pada industri hulu dan penggunaan batu bara di masing-masing pembangkit listrik industri akan terkena dampaknya.
“Jika tujuannya untuk mengurangi emisi karbon dengan menggunakan instrumen pajak, itu salah besar. Industri juga dituntut untuk menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, sedangkan investasi teknologi itu mahal dan memerlukan waktu untuk mengadopsi teknologi tersebut,” ucap Rizal.
Menurut Rizal, pajak karbon memiliki efek domino. Misalnya, perusahaan listrik, minyak dan gas dalam negeri juga akan merasakan dampaknya dari pajak karbon ini. Ia pun menduga kenaikan biaya listrik, minyak dan gas akan dibebankan kepada pelaku usaha dan masyarakat.
“Pajak karbon ini perlu dikaji kembali oleh pemerintah. Kenaikan harga minyak, gas dan listrik juga tidak dapat dihindari kalau pajak karbon ini benar-benar diterapkan,” ujar Rizal.
BACA: Kemenkeu: Sejak 1983 Indonesia Telah Melakukan 5 Kali Reformasi Pajak
CAESAR AKBAR