Sejak saat itu, Asep bercerita tidak lagi melanjutkan proses restrukturisasi utang. Sebab menurut dia, opsi yang ditawarkan bank hanya menunda masalah di tengah iklim dunia usaha yang tidak menentu.
Tak berhenti di situ, Asep menemukan sejumlah masalah lain. Pada Juni 2020 saat likuiditas perusahaannya berada dalam konsisi memburuk dan ia kesulitan membayar cicilan, Asep mengaku tidak bisa membayar utang menggunakan uangnya yang ditahan oleh pihak bank.
“Padahal masih ada dana kami yang di-hold oleh mereka tiga bulan (kesepakatan) itu pun tidak bisa kami pakai untuk membayar cicilan,” ujar Asep.
Di sisi lain, bunga utang yang semestinya turun 0,25 persen sesuai perjanjian karena telah melewati tahun pinjaman ketiga pun tidak berkurang sama sekali. “Setelah saya protes baru diturunkan,” ujarnya.
Asep menyayangkan sikap bank yang terkesan terus mencari untung di masa pandemi Covid-19. Ia menilai bank syariah tidak menjalankan prinsip ta'awun atau tolong-menolong di tengah krisis. “Yang saya sayangkan kenapa bank bertahan untuk selalu untung di seluruh masa kredit ini, padahal ada pandemi, sementara dunia usaha berjibaku untuk bertahan hidup,” ujarnya.
Sulitnya melakukan relaksasi utang di bank syariah juga dirasakan oleh pengusaha jalan tol, Jusuf Hamka. Ia mengklaim mengalami pemerasan oleh salah satu bank syariah swasta. Pemerasan terjadi saat Jusuf meminta relaksasi bunga utang perusahannya dari 11 persen menjadi 8 persen, namun tak dikabulkan bank.
Jusuf kemudian memilih melunasi utang perusahaannya kepada bank senilai Rp 795 miliar dari total utang Rp 800 miliar. Namun uang yang telah ia setor tidak kunjung dicatatkan sebagai pelunasan dan bank tetap menagih bunga selama dua bulan berlangsung.
Baca Juga: Cerita Jusuf Hamka Merasa Diperas Bank Syariah Swasta: Kayak Lintah Darat