TEMPO.CO, Jakarta - Digitalisasi dan perubahan besar yang terjadi di tubuh PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI saat ini tidak bisa lepas dari sosok mantan Direktur Utama pada periode 2009-2014, Ignasius Jonan.
Jonan menceritakan bagaimana tantangan mengubah kultur dalam organisasinya menuju proses digitalisasi saat menjadi orang nomor satu di KAI.
Salah satunya, kata dia, adalah dalam mengatur supaya tidak ada lagi calo di KAI. Menurutnya, hal tersebut hanya bisa dicapai lewat digitalisasi.
Salah satunya, kata dia, dengan menciptakan agar masyarakat bisa memesan tiket secara mandiri baik di ponsel pintar maupun membelinya di gerai Alfamart atau Indomart.
Kedua terkait dengan tingkat ketepatan waktu Kereta Api yang saat ini tidak boleh lebih dari 30 detik baik saat berangkat maupun tiba.
Hal itu, katanya, bisa dilakukan kalau ada digitalisasi dalam sistem operasinya. Caranya, dengan memasang GPS di setiap lokomotif untuk mengetahui lokasi dan melakukan komunikasi di antara pihak yang berada di ruang kontrol operasi.
“Dua hal besar itu yang utama karena masyarakat kalau mau naik transportasi maunya ya beli tiketnya mudah dan datangnya tepat waktu. Yang lainnya adalah soal layanan, keselamatan, dan sebagainya,” ujarnya, dalam webinar Leadership in Digital Era yang diselenggarakan oleh PPM School of Management, Sabtu, 17 Juli 2021.
Jonan berpendapat digitalisasi ini sering kali tidak membuahkan hasil atau gagal karena kulturnya tidak dipersiapkan dengan baik. Digitalisasi diakuinya berdampak kepada banyak hal selain kultur juga stabilitas organisasi, peranan setiap organisasi, dan stakeholder terkait.
“Digitalisasi di kereta api waktu itu sistem logistik daripada material. Nggak banyak materialnya sarana dan prasarana 6.000 sampai 7.000 item. Tapi nggak mungkin semuanya manual karena berantakan jadinya. Ini yang penting. Mengubah kultur supaya siap menerima digitalisasi,” kata Jonan.
BISNIS
Baca juga: Ignasius Jonan Mengundurkan Diri dari Komisaris Independen Sido Muncul