TEMPO.CO, Jakarta - Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa atau RUPSLB PT Tempo Inti Media Tbk yang dilangsungkan pada Senin, 12 Juli 2021 lalu. Setelah mengangkat jajaran direksi baru dalam RUPS Luar Biasa, Tempo melakukan penyegaran pula di jajaran redaksi pada tiga media utama milik perusahaan, Majalah Tempo, Koran Tempo, dan Tempo.co.
Di Koran Tempo, Jajang Jamaludin menggantikan Budi Setyarso sebagai Pemimpin Redaksi. Jajang sebelumnya adalah Redaktur Eksekutif yang kini digantikan oleh Yandrie Arvian.
Jajang Jamaludin atau kerap dipanggil Jajang memulai karir jurnalistik pada tahun 2000. Sejak semasa kuliah di Universitas Padjadjaran atau Unpad, Jajang memang senang menulis, walau tidak sering, ia pernah menulis beberapa opini untuk surat kabar.
“Sebagian untuk mengekspresikan gagasan, sebagian lagi untuk nambah-nambah uang saku, sebagai mahasiswa ya lumayan kan nambah-nambah uang SPP,” kata Jajang kepada Tempo, Kamis, 15 Juli 2021.
Sebelum terjun ke dunia wartawan, Jajang sempat mengajar di almamaternya. Ia pernah menjadi asisten dosen di kampusnya di Fisip Unpad. Kala mahasiswa ia lebih tertarik dengan dunia riset. "Di kampus saya enggak ikut pers kampus, lebih banyak ikut program-program riset,” tutur pria asal Cianjur ini.
Perubahan politik pada 1997 – 1998 yang menyebabkan beberapa peristiwa besar di Jakarta, menjadikan ibu kota sebagai magnet tersendiri bagi Jajang. Akhir 1999, Jajang memutuskan merantau ke Jakarta, kebetulan waktu itu sedang ada lowongan di Tempo dan Kompas. Jajang pun melamar di kedua media ini, namun ia memutuskan memilih Tempo lantaran lebih merasa tertantang.
“Ya heroik istilahnya kalau gabung di Tempo, media yang habis ditutup selama empat tahun terus bangkit lagi, bagi mahasiswa yang pernah sedikit banyak aktif dalam gerakan-gerakan di kampus, gabung ke Tempo rasanya lebih kuat magnetiknya waktu itu. Akhirnya saya, ya udah Tempo,” kata Jajang mengawali karirnya sebagai reporter Tempointeraktif.com pada Januari 2000 sampai April 2001 ini.
Ada dua opsi yang ditawarkan Tempo saat itu, yaitu menjadi reporter biasa atau periset. Jajang menjatuhkan pilihan sebagai periset mengingat dirinya sebelumnya lebih banyak berkecimpung dengan riset di Unpad. Ditambah Tempo memiliki Pusat Analisis Data Tempo yang menjadi supporting di semua pemberitaan majalah Tempo.
Namun kemudian dalam prosesnya menurut tim rekrutmen Tempo waktu itu, menjadi periset yang baik juga harus menjadi reporter yang baik, sehingga Jajang harus mengikuti proses pendidikan sebagai reporter.
“Pulang pelatihan saya enggak dibalikin ke PDAT, saya ditugaskan jadi reporter, bukan jadi calon periset,” kata Jajang.
Selama karir jurnalistik yang sepenuhnya di Tempo, Jajang pernah mengalami beberapa kejadian yang tidak mengenakkan. Salah satunya saat ia mengungkap kasus praktek amplop untuk wartawan, uang saku yang disediakan oleh Pemda DKI Jakarta untuk wartawan kala itu. “Kejadiannya sekitar tahun 2002 atau 2003,” kenang Jajang.
Saat itu Jajang ditemani oleh salah satu rekan wartawannya yang juga masih sama-sama berstatus junior untuk melakukan peliputan di DPRD. Tiba-tiba Jajang disergap oleh beberapa wartawan senior dan diseret ke ruang pers. “Saya diseret, dicekik, saya benar-benar dicekik, diserang secara tiba-tiba, diancam “Kamu jangan nulis begitu lagi. Anak baru di sini, kami udah lama, mentang-mentang kamu bekerja di Tempo,”” katanya.
Bukan hanya itu, bahkan Jajang juga sempat mendapat perlakuan pelecehan, ia diminta untuk meminta maaf dan bersujud kepada wartawan senior tersebut. “Saya tidak akan melakukan, tentu saja,” kata wartawan yang pernah menjabat sebagai Sekjen AJI Indonesia dan Ketua AJI Jakarta.
Kejadian tersebut benar-benar membekas di ingatan Jajang dan membuka pikirannya bahwa begitulah realitas wartawan saat itu, meski di Jakarta sekalipun.
“Wartawan yang diharapkan menjadi sapu pembersih ternyata banyak yang kotor, bagaimana mau mengontrol penyimpangan di tingkat instansi pemerintahan kalau wartawannya seperti itu,” kata magister Komunikasi Politik, Paramadina Graduate School of Communications, Paramadina University ini.
Pengalaman lain, Jajang juga pernah digugat ke pengadilan hingga ratusan miliar gara-gara tulisannya yang mengungkap soal korupsi tambang seorang bupati di Sulawesi. Beruntung hakim di pengadilan tersebut memahami soal kebebasan pers, hakim menolak gugatan tersebut. Jajang juga kerap dipanggil sebagai saksi dalam banyak kasus selama menjadi wartawan, “Kalau diperiksa sebagai saksi entah berapa kali lah,” kata Jajang.
Sebagai Pemred Koran Tempo, Jajang menuturkan tantangan terbesar bagi Koran Tempo yang sudah sepenuhnya ke format digital adalah menghasilkan berita-berita dalam waktu relatif singkat, namun berbeda dengan berita-berita yang disajikan oleh media online.
“Menyajikan berita-berita yang penting, menarik, dan membuat orang mau berlangganan, itu yang tidak mudah. Karena koran Tempo harus berlangganan jadi harus benar-benar ekslusif,” ujarnya. Selain itu, Jajang juga berharap ke depannya Tempo bisa menjadi media terdepan dalam hal menjernihkan ruang publik dari disinformasi, hoaks, fitnah, maupun propaganda.
Jajang didampingi Yandrie Arvian sebagai Redaktur Eksekutif Koran Tempo. Yandrie mengawali kariernya sebagai wartawan pada April 2003, setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung atau ITB. Meski latar belakang pendidikannya tidak ada sangkut pautnya dengan dunia jurnalistik, ia telah menekuni profesi wartawan sejak masih mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
“Saya kan backgroundnya engineering di ITB, dulu di ITB ikut salah satu pers kampus,” kata Yandrie. Kebetulan, tidak lama setelah dirinya diwisuda, Tempo membuka lowongan untuk calon wartawan.
Salah satu liputan yang paling berkesan selama berkarir sebagai wartawan Tempo adalah kasus pembunuhan terhadap bos Asabai.
Asaba merupakan perusahaan yang bergerak di bidang peralatan kantor, alat tulis menulis, fotokopi dan lainnya. Bos Asabah dibunuh di hari Minggu ketika hendak menuju ke tempat ia biasa main basket. Selain bos Asabah, pengawalnya yang juga merupakan anggota kopassus juga ikut terbunuh.
Yandrie yang kala itu masih berstatus calon reporter ditugaskan turun ke lapangan. Saat menelusuri ke sejumlah narasumber, ia mendapat informasi eksklusif soal dugaan keterlibatan mantan menantu di balik pembunuhan tersebut. Si menantu menyewa seorang marinir untuk mengeksekusi pembunuhan tersebut.
“Jadi ada ketegangan lagi soalnya yang membunuh itu marinir, dan ada anggota Kopassus yang ikut terbunuh,” kata Yandrie.
Koran Tempo ketika itu menjadi media pertama yang membongkar dalang di balik pembunuhan yang cukup lama menyedot perhatian publik itu.
Sebagai Redaktur Eksekutif, Yandrie berharap dapat membawa Koran Tempo digital lebih banyak menghasilkan karya-karya jurnalistik yang bermanfaat untuk publik, “Karena kan spiritnya Tempo untuk publik untuk republik,” ujarnya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga: Anton Aprianto Resmi Jabat Pemred Tempo.co