TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito membantah pihaknya telah menerbitkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) untuk Ivermectin sebagai obat Covid-19. Kabar tersebut sebelumnya muncul dalam pemberitaan, mengutip Surat Edaran (SE) BPOM yang terbit pada 13 Juli 2021.
"SE itu diartikan salah, bukan demikian," kata Penny saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 15 Juli 2021.
Menurut Penny, surat tersebut bertujuan agar produsen dan distributor obat-obat yang digunakan untuk pengobatan Covid-18 selalu melaporkan distribusi mereka ke mana saja. Dari daftar 8 obat yang tercantum di dalamnya, hanya ada 2 saja yang punya EUA yaitu Remdesivir dan Favipiravir.
Sementara, obat cacing Ivermectin hanya bisa digunakan untuk pengobatan Covid-19 melalui uji klinik di 8 rumah sakit. Tapi saat ini, kata Penny, uji klinis ini sedang diperluas lagi di RS lainnya yang sudah mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan.
Kebijakan ini, kata Penny, sesuai dengan Peraturan Kepala BPOM yang baru tentang Perluasan Akses untuk obat uji seperti Ivermectin. "Dengan resep dokter dan tetapi, atau dosis dan pemberian sesuai dengan uji klinik," kata dia.
Sebelumnya, SE yang diteken oleh Plt Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM, Mayagustina Andarini tersebar luas. SE Nomor PW.01.10.3.34.07.21.07 Tahun 2021 ini mengatur tentang Pelaksanaan Distribusi Obat dengan EUA.
"Fasilitas distribusi yang mendistribusikan obat yang diberikan EUA wajib melaporkan pemasukan dan penyaluran obat tersebut kepada Badan POM setiap 2 (dua) minggu sekali melalui aplikasi e-was.pom.go.id," demikian bunyi ketentuan huruf E nomor 4 di SE.
Tapi karena ada kelangkaan obat pendukung terapi Covid-19, termsuk obat yang diberikan EUA, maka pelaporan dilakukan setiap akhir hari kegiatan distribusi. Ini berlaku untuk periode Juli sampai September 2021.