TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melihat reformasi perpajakan berpotensi mengurangi kesenjangan pajak atau tax gap ke level normal atau relatif comparable secara global. Dia ingin tax gap di Indonesia bisa kurang dari posisi saat ini yang sebesar 9,5 persen.
"Selalu ada yang disebut tax gap. Namun bencmark internasional terutama bagi negara di OECD dan negara-negara emerging adalah sekitar 3,6 persen yang disebut normal tax gap," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat yang disiarkan secara virtual, Senin, 28 Juni 2021.
Dia menuturkan apabila rezim perpajakan dipatuhi 100 persen, perlakuan pajak untuk semua sektor adalah sama dan tidak terdapat exemption, threshold atau PTKP. Di berbagai negara maju, jumlah atau kemampuan untuk mengumpulkan pajak, memang tidak akan pernah 100 persen.
"Di Indonesia dari sisi kemampuan untuk meng-collect perpajakan yang 9,76 persen dan adanya tax gap sebesar 9,5 persen dan normal tax gap yang terjadi di negara-negara lain adalah 3,6 persen, maka untuk Indonesia sebetulnya terdapat potensi tax gap harus kita kurangi sebesar mendekati 5 persen dari GDP," kata dia.
Tujuan ini, kata dia, akan menjadi pondasi reformasi perpajakan.
Dia menuturkan reformasi perpajakan terdiri dari reformasi di bidang kebijakan dan reformasi di bidang administrasi. Dari sisi kebijakan pemerintah harus melihat basis pajak dan juga daya saing, baik dalam perekonomian maupun antar negara.