TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan salah satu risiko penerbitan utang adalah crowding of effect. Artinya, pemerintah melebarkan defisit seperti tahun ini hingga 5,7 persen dengan solusi menerbitkan utang untuk menutup defisit.
Bhima mengingatkan utang tersebut akan menyedot likuiditas dalam negeri dan akan mengganggu jalannya investasi untuk naik lebih tinggi.
"Itu akan menghambat pemulihan di sektor riil dan dunia usaha," kata dia kepada Antara di Jakarta, Sabtu 26 Juni 2021.
Dia meminta pemerintah lebih berhati-hati dengan memperhatikan dua aspek sebelum menerbitkan utang terutama pada masa krisis pandemi COVID-19.
"Sebelum menerbitkan utang baru sebaiknya pemerintah lebih berhati-hati dan ada dua hal hati-hatinya," katanya,
Aspek pertama adalah utang memiliki konsekuensi terhadap beban bunga yang meningkat, sementara sekarang 86 persen porsi utang pemerintah dalam bentuk surat utang atau surat berharga yang bunganya lebih tinggi dari pinjaman.
Aspek kedua yang harus diperhatikan adalah tujuan dari penggunaan utang yaitu antara belanja yang mendesak seperti penanganan pandemi dan perlindungan sosial atau belanja yang dapat ditunda seperti belanja infrastruktur.
Bhima pun menyarankan pemerintah sebaiknya menunda belanja yang tidak mendesak termasuk belanja untuk pembangunan infrastruktur.
"Sebaiknya, utang yang digunakan untuk infrastruktur atau moratorium itu bisa ditunda dulu," ujarnya.
BACA: Ekonom: Masalah Pengelolaan Utang Bukan Jumlah Tapi Produktivitasnya