Ia pribadi mengaku tak pernah meminjam uang dari tauke untuk keperluan modal kerja karena akad perjanjiannya tidak jelas. “Tidak ada hitam di atas putih. Kalau ada apa-apa di masa mendatang, tidak ada bukti yang sah. Saya lebih pilih ambil kredit di bank, misalnya KUR dari pemerintah.”
Saat ini jumlah tauke tumbuh subur di Natuna. Pasalnya, akses pelayan keuangan formal masih belum merata di beberapa pulau kecil terluar, seperi di Pulau Laut ataupun Pulau Subi, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Sosialisasi akses perbankan juga belum optimal menyentuh sebagian besar warga Natuna. “Pulau-pulau jauh itu nampak sekali ketertinggalannya,” ucap Rahmad.
Padahal, menurut Rahmad, prosedur mendapatkan kredit dari bank sangatlah gampang. Masyarakat hanya menyediakan dokumen seperti kartu keluarga dan KTP, setelah itu pihak bank yang akan jemput bola dan bersifat proaktif.
Selain karena minim sosialisasi yang diberikan, faktor jarak yang cukup jauh juga membuat warga sulit mengajukan KUR ke perbankan. “Tidak mungkin nelayan sebulan sekali datang ke Kota Ranai, Natuna, untuk bayar KUR. Jaraknya cukup jauh,” kata Rahmad.
Belum meratanya pelayanan keuangan formal di beberapa daerah juga dibenarkan oleh Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANN). Walau sebetulnya, dibanding beberapa tahun sebelumnya, keberadaan perbankan di Natuna sudah mulai membaik.
Tetapi ia menyebutkan bank memang belum bisa menjangkau masyarakat pulau-pulau terluar. “Mungkin perbankan tidak ada di Pulau Laut karena jarak yang jauh dari pusat kota,” kata Hendri.
Menurut Hendri, pemerintah daerah seharusnya menghadirkan sejumlah solusi, misalnya dengan mendirikan Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga ini akan dikelola oleh pemerintah daerah setempat dengan sistem perbankan. “Ide ini sudah saya usulkan sejak 2002 lalu, tetapi tidak ada realisasi,” katanya.
Lembaga tersebut nantinya tidak hanya melakukan pembiayaan tetapi juga simpan pinjam untuk masyarakat pulau. “Kalau Pemda yang mengelola tentu bunga bisa kecil, dengan menekan biaya operasional,” kata Hendri.
Sementara itu, Dosen Ekonomi Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) Firdaus Hamta mengatakan, permasalahan akses keuangan atau inklusi keuangan nelayan Natuna harus segera dipecahkan. Pasalnya, kendala akses terbilang sudah komprehensif, mulai dari minimnya fasilitas dan aksesibilitas fasilitas perbankan, begitu juga kebiasaan masyarakat pesisir sangat tergantung dengan lembaga non formal yang sudah mendarah daging.
“Belum lagi minimnya kapasitas produksi dan penghasilan nelayan yang belum maksimal untuk mengakses modal cicilan bulanan,” kata Firdaus.