TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini menilai warisan lonjakan utang pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi ke presiden berikutnya bisa mencapai Rp 10.000 triliun.
Bila dibiarkan, menurut dia, APBN akan lumpuh karena terlilit beban utang dengan pembayaran bunga dan utang pokok yang sangat besar. “APBN bisa menjadi pemicu krisis ekonomi," kata Didik seperti dikutip dari keterangan resmi, Kamis, 24 Juni 2021.
Ia lalu membandingkan dengan krisis 20 tahun lalu yakni pada 1998 yang dipicu oleh nilai tukar. Maka saat ini krisis bisa dipicu oleh APBN yang berat digabung dengan krisis pandemi karena pandangan yang salah kaprah sejak awal. "Jadi, gabungan dari kedua faktor itu berpotensi memicu krisis."
Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah pada tahun 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun. Angka tersebut melonjak signifikan dari Rp 4.778 triliun pada tahun 2019.
Defisit APBN pada 2020 juga melebar menjadi 6,09 persen dari 1,84 persen pada 2019. Membesarnya defisit tersebut, menurut Didik, tak lepas dari kebijakan politik ekonomi anggaran usulan presiden dan keputusan di DPR.
Pasalnya, mereka mengizinkan defisit anggaran terus melebar hingga melampaui 3 persen sampai tahun 2022 karena pandemi Covid-19. Keputusan tersebut dinilai terburu-buru tanpa memperhatikan dampak lebih jauh.
Dalam hitungannya, kata Didik, utang yang menjadi tanggungan pemerintah tidak hanya di APBN yang mencapai Rp 6.527 triliun per April 2021. Sebab, masih ada utang BUMN sebesar Rp 2.143 triliun.