TEMPO.CO, Jakarta - Paguyuban Pilot Eks Merpati (PPEM) mencatat total utang perusahaan terhadap hak pesangon mantan karyawan yang belum tuntas dibayar mencapai Rp 318,17 miliar. Persoalan pembayaran hak karyawan itu mengendap sejak Merpati menghentikan operasinya pada Februari 2014.
"Pada 1 Februari 2014, Merpati berhenti beroperasi menyebabkan adanya hak-hak normatif yang belum dibayar kepada 1.233 karyawan," ujar Ketua PPEM Anthony Ajawaila dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 23 Juni 2021.
Anthony menjelaskan, pada Februari 2016 perusahaan mengeluarkan surat pengakuan utang atau SPU kepada karyawan sebesar 30 persen. Berdasarkan isi surat SPU, perusahaan semestinya melunasi hak pesangin pada akhir Desember 2018.
Namun pelunasan hak karyawan terhambat lantaran Merpati mengajukan proposal perdamaian dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang disetujui di Pengadilan Niaga Surabaya. Pengadilan menyatakan Merpati harus bisa beroperasi agar bisa menyelesaikan hak-hak karyawan.
"Sampai saat ini kami meminta jawaban (manajemen Merpati), namun belum ada kejelasan," ujar Anthony.
Tak hanya dana pesangon, Merpati juga masih meninggalkan jejak kewajiban kepada para pegawai pensiunannya. Sebanyak 1.744 peserta dana pensiun disebut-sebut belum menerima hak solvabilitas setelah Yayasan Dana Pensiun Merpati dibubarkan pada 22 Januari 2015.
Alasan pembubaran Yayasan Dana Pensiun ini adalah ketidakmampuan manajemen dalam membayarkan iuran. Berdasarkan hitungan aktuaria, total nilai solvabilitas milik pemegang hak dana pensiun mencapai Rp 96,4 miliar.
Dari angka itu, sebesar Rp 48 miliar dana pensiun telah dibayarkan pada 2014 dengan uang hasil penjualan aset-aset anak usaha Merpati. Dengan demikian, Merpati pun masih memiliki kewajiban pembayaran hak solvabilitas sebesar Rp 48,4 miliar. Pembayaran hak ini disebut-sebut menjadi tanggung jawab Tim Likuidasi Dana Pensiun Merpati.