TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menyampaikan hasil laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2020. Dalam hasil kajiannya, BPK menyoroti risiko peningkatan utang pemerintah selama pandemi Covid-19.
“Tren penambahan utang pemerintah serta biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) dan penerimaan negara sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” ujar Agung dalam webinar, Selasa, 22 Juni 2021.
Posisi utang pemerintah pada Desember 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun atau meningkat tajam ketimbang tahun sebelumnya dengan defisit neraca APBN 6,27 persen. Pada 2019, utang pemerintah berjumlah Rp 4.778 triliun.
Agung mengatakan pemerintah memang telah membuat laporan keberlanjutan fiskal jangka panjang atau long term fiscal sustainability report (LTFS Report) yang mempertimbangkan skenario kebijakan fiskal yang akan diambil dan indikator yang dimonitor. Namun, BPK masih memberikan beberapa catatan.
Selain peningkatan risiko utang, BPK menilai pengelolaan risiko fiskal pemerintah belum memperhitungkan beban fiskal yang berkaitan dengan kewajiban program pensiun jangka panjang, kewajiban dari putusan hukum yang sudah incraht, dan kewajiban penjaminan sosial. Risiko fiskal juga belum mempertimbangkan kewajiban kontingensi dari BUMN serta kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dalam bidang pembangunan infrastruktur.
Selama pandemi Covid-19, Agung mengatakan defisit, utang, dan SILPA negara akan berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal. Kendati rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam ketentuan, tren yang ada menunjukan kondisi ini perlu diwaspadai. Apalagi mulai 2023, rasio defisit terhadap PDB dibatasi paling tinggi 3 persen.
Selanjutnya, BPK mencatat indikator kerentanan utang negara pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF) atau International Debt Relief (IDR). “Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen,” tutur laporan BPK yang dibacakan Agung.
Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen. Rasio utang terhadap penerimaan yang sebesar 369 persen pun melewati rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
BPK juga menyoroti indikator kesinambungan fiskal 2020 sebesar 4,27 persen. Indikator itu melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators, yaitu di bawah 0 persen.