Bila dilihat secara historis, harga minyak berbanding terbalik dengan harga dolar AS. Negosiasi untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran sebelumnya terhenti pada Ahad pekan lalu, 20 Juni 2021 setelah hakim garis keras Ebrahim Raisi memenangkan pemilihan presiden negara itu.
"Pemilihan seorang garis keras di Iran membebani pasar karena sanksi tampaknya tidak akan dicabut," kata Bob Yawger, direktur Energi Berjangka di Mizuho di New York.
Dengan kesepakatan itu, Iran dapat mengekspor tambahan 1 juta barel per hari, atau 1 persen dari pasokan global, selama lebih dari enam bulan dari fasilitas penyimpanannya. Pejabat Iran dan Barat mengatakan kemenangan Raisi tidak mungkin mengubah posisi negosiasi Iran.
Dua diplomat itu berharap istirahat perundingan sekitar 10 hari. Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi pada Senin kemarin mendukung pembicaraan antara Iran dan enam kekuatan dunia untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 namun tegas menolak pertemuan dengan Presiden AS Joe Biden, sekalipun jika Washington menghapus semua sanksi.
Harga minyak juga telah mendapat dukungan dari perkiraan pertumbuhan terbatas dalam produksi minyak AS. Hal ini memberikan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) lebih banyak kekuatan untuk mengelola pasar dalam jangka pendek sebelum potensi kenaikan kuat dalam produksi minyak serpih AS pada 2022.
Baca: Deposito 20,1 Miliar Raib, YLKI Sebut Klaim BNI soal Bilyet Palsu Tak Masuk Akal