TEMPO.CO, Jakarta - Transparency International Indonesia atau TII merekomendasikan beberapa hal mulai dari tata kelola hingga pemilihan komisaris dalam Badan Usaha Milik Negara atau BUMN. Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Indonesia Danang Widoyoko mengatakan salah satu yang direkomendasikan yaitu perlu transparansi dan akuntabilitas BUMN, publikasi laporan tahunan dan laporan keuangan.
"Ada 20 BUMN yang tidak menyediakan informasi laporan keuangan," kata Danang dalam diskusi virtual, Rabu, 16 Juni 2021.
Dia mengatakan perlu membenahi tata kelola BUMN untuk mencegah korupsi, memerangi praktik memburu rente dan menekan inefisiensi. Jika pemilihan komisaris non-profesional menempatkan BUMN rawan politisasi dan menjadi sapi perah bagi berbagai kepentingan lain. "Menyedihkan karena 17 persen itu yang profesional, yg paling banyak justru penempatannya politis," ujarnya.
Dia mengatakan hanya 17,63 persen komisaris BUMN diangkat dari kalangan profesional, sisanya 82,3 persen itu diangkat berdasarkan politis. Menurutnya, perlu menetapkan kriteria dan standar profesional untuk rekrutmen komisaris non-profesional. Selain itu, kata dia, akar persoalan pada birokrasi ada pada sistem penggajian. "Pemerintah harus membuat single salary," kata dia.
Danang menilai akar persoalan pada komisaris dari politisi adalah pendanaan politik yang tidak diatur dengan baik. Politisi, baik relawan non-parpol maupun aktivis parpol, kata dia, harus mencari dana untuk mendanai kegiatan politik.
Sedangkan ada juga komisaris dari aparatur penegak hukum, kata dia, merefleksikan persoalan dalam penegakan hukum, terutama judicial corruption. Komisaris kalangan aparat penegak hukum terdiri dari 12 polisi dan 16 jaksa. Politisi meliputi 44 relawan, 9 ormas, dan 18 aktivis partai politik.
"Komisaris dari militer adalah bentuk akomodasi kepentingan TNI. Reformasi sektor pertahanan masih menjadi pekerjaan rumah," kata Danang.