TEMPO.CO, Jakarta -Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia menjadi pasar nomor satu bagi produk-produk halal asal negara yang mayoritas penduduknya non muslim.
Kepala Pusat Halal Science Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor atau LPPM IPB, Prof Khaswar Syamsu mengungkapkan Indonesia menjadi konsumen produk halal di urutan teratas.
Hal ini dapat dilihat dari data Ekonomi Islam Global. Namun ironisnya, pasar ekspor produk-produk halal tersebut malah dikuasai oleh negara-negara dengan mayoritas penduduk non muslim.
Dilansir dari laman resmi IPB, Syamsu mengatakan berdasarkan data Ekonomi Islam Global 2018/2019, selain Indonesia, negara dengan konsumsi dan pengeluaran untuk produk halal tertinggi adalah Turki, Pakistan, Bangladesh, Iran, Arab Saudi, Nigeria, Rusia, India, serta Uni Emirat Arab, dan Malaysia.
“Di dunia, Indonesia adalah konsumen produk halal nomor satu. Tapi sayangnya, kita berada di posisi nomor 10 untuk peringkat produsen produk halal. Negara-negara yang mengekspor produk halal sebenarnya dikuasai oleh negara-negara dengan mayoritas non-Muslim,” tutur Syamsu, dikutip Tempo dari laman resmi IPB pada Selasa, 15 Juni 2021.
Negara-negara pengekspor produk halal tersebut di antaranya Brazil, Australia, India, Perancis, China, Sudan, dan Belanda. “Brazil, Australia, dan India merupakan eksportir utama daging halal ke Indonesia,” jelas dosen dari Departemen Teknologi Industri Pertanian atau TIN IPB ini.
Padahal menurut Syamsu, Indonesia memiliki peluang besar menjadi eksportir produk halal dunia. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi muslim terbesar yang merupakan konsumen potensial produk halal. Menurutnya, sektor produk halal yang paling potensial untuk menjaring konsumen muslim di antaranya yaitu makanan, minuman, pakaian Muslimah, kosmetik, serta wisata halal. Jika dapat memanfaatkan peluang yang terbuka lebar tersebut, Indonesia bisa menjadi produsen produk halal domestik dan internasional.
“Sektor makanan, minuman, dan busana Muslimah yang dihasilkan oleh UMKM kemungkinan besar akan diandalkan untuk diekspor ke negara-negara muslim,” tutur Syamsu.
Meski begitu, menurut inovator IPB University Vegetable Cheese ini, sektor yang potensial ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, padahal berdasarkan undang-undang nomor 33 Tahun 2014 mensyaratkan sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, dan kosmetik. “Namun, masih banyak produk makanan, minuman, dan kosmetik yang belum tersertifikasi halal,” ujarnya.
Untuk itu, menurut Syamsu agar industri dalam negeri dapat bersaing dengan produsen produk halal dari negara-negara mayoritas non muslim tersebut, mereka juga harus dapat meningkatkan kualitas. Sementara dari segi harga, Indonesia dapat lebih kompetitif karena SDA yang melimpah dan SDM sebagai tenaga kerja yang relatif lebih murah.
“Namun, dari segi kualitas perlu ditingkatkan agar mampu bersaing di dunia,” katanya
Terkait sertifikasi halal yang disyaratkan untuk produk halal tersebut, prosedurnya akan lebih banyak dan lebih lama dari sebelumnya, menurut Syamsu hal ini akan membawa konsekuensi peningkatan proses sertifikasi. Selain itu, proses sertifikasi halal juga akan memakan biaya tambahan yang akan membebani industri, terutama bagi Usaha Mikro Kecil Menengah atau UMKM.
“Tentunya tambahan biaya tersebut akan kontraproduktif bagi pengembangan produksi halal,” kata dosen Fakultas TIN IPB ini.
Syamsu menyarankan agar kredit pengembangan produk halal didukung oleh sistem keuangan syariah yang adil dan tidak membebani peminjam. “Upaya ini bertujuan agar UMKM mampu menawarkan produk halal dengan harga dan kualitas yang lebih kompetitif,” kata Syamsu.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga: Marketplace Tokopedia dkk Didorong Jadikan RI Produsen Produk Halal Terbesar