TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Kementerian Keuangan Bidang Komunikasi, Yustinus Prastowo, menjelaskan tentang bocornya draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Di dalam beleid itu terdapat rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako atau PPN sembako.
Menurut Prastowo, bunyi klausul dalam draf itu disebut beredar sepotong-sepotong sehingga menimbulkan spekulasi. “PPN atas sembako dan jasa pendidikan sebetulnya bagian kecil dari konsep RUU yang dipotong, dicabut, sehingga bunyinya lepas dari makna,” ujar Prastowo dalam diskusi bersama Trijaya FM, Sabtu, 12 Juni 2021.
Berdasarkan konsepnya, Prastowo menerangkan pemerintah sebetulnya ingin mendesain agar RUU yang mengatur perpajakan lebih komprehensif dan adil. Rencana untuk memasukkan golongan sembako ke objek pajak pun bukan berarti pemerintah ingin membebani masyarakat dengan memungut PPN dari bahan-bahan pokok.
Dengan PPN yang bersifat multitarif, kebijakan tersebut memungkinkan barang-barang kebutuhan yang dikonsumsi kelompok atas, seperti daging wagyu, beras premium, dan telur omega tiga, misalnya, dikenakan pajak lebih besar sekitar 15-20 persen. Sedangkan barang kebutuhan seperti susu formula bisa dikenakan pajak lebih rendah, yaitu 5 persen.
Adapun barang yang dikonsumsi masyarakat secara luas bisa dikenakan PPN final seperti 1 persen, bahkan nol persen. “Ini untuk mencapai keadilan karena di pajak ada adagium kalau mau sederhana pasti enggak adil, tapi kalau mau adil memang harus rumit sedikit,” ujar Prastowo.