TEMPO. CO, Jakarta – Koalisi masyarakat yang tergabung dalam Save Sangihe Island membuat petisi meminta Presiden Joko Widodo alias Jokowi membatalkan izin usaha pertambangan (IUP) tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Petisi tersebut disampaikan melalui situs Change.org.
“Petisi ini di-launching 3 April 2021 pada saat deklarasi oleh Save Sangihe Island,” ujar koordinator Save Sangihe Island, Jull Takaliuang, saat dihubungi Tempo, Jumat, 11 Juni 2021.
Sampai 11 Juni petang, petisi tersebut sudah ditandatangani oleh 59.884 orang. Berdasarkan keterangan dalam situs Change.org, koalisi masyarakat mendesak Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral merealisasikan pencabutan IUP Produksi PT TMS serta membatalkan izin lingkungan yang dikeluarkan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Utara.
Kegiatan pertambangan ini dikhawatirkan akan merusak ekosistem lingkungan Sangihe sebagai wilayah pulau kecil. Koalisi berharap masyarakat setempat dapat hidup dengan aman seperti sebelum aktivitas pertambangan berjalan.
“Biarkan kami hidup aman dan damai seperti sediakala. Kami sudah bahagia dengan keberadaan pulau kami saat ini. Karena itu, jangan ganggu kami, kami tidak ingin pulau kami dirusak oleh tambang,” tulis Save Sangihe Island dalam petisinya.
Gelombang penolakan terhadap izin pertambangan emas telah meruak sejak 2017. Masyarakat dan kolaisi yang terdiri atas 25 kelompok pegiat lingkungan di Kepulauan Sangihe menentang aktivitas pertambangan seluas 42 hektare itu karena disinyalir menyalahi hukum dan akan mengancam ekosistem lingkungan.
Musababnya, kawasan tambang tersebut memakan separuh dari luas wilayah Pulau Sangihe yang hanya 73.698 hektare. Bila izin tersebut diteruskan, kegiatan tambang berpotensi merusak lingkungan daratan, pantai, komunitas mangrove, terumbu karang, dan biota laut dalam waktu tak terlalu lama.
Koordiantor Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah Ismail menilai pemberian IUP untuk perusahaan pertambangan emas ini cacat hukum. Menurut Merah, izin tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Sangihe ini kan pulau kecil. Pulau kecil itu dilindungi oleh regulasi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014. Sebagai pulau kecil di bawah 2.000 kilometer persegi, Sangihe semestinya tidak boleh ditambang,” ujar Merah.
Selain mengganggu ekosistem, penguasaan wilayah pertambangan ditengarai akan berimbas pada hilangnya sebagian atau keseluruhan hak atas tanah dan kebun masyarakat. Di sisi lain, pertambangan juga dapat menyebabkan Pulau Sangihe tenggelam atau rusak parah.
Pada bagian selatan Pulau Sangihe, kata Merah, terdapat beberapa zona kuning dan oranye serta area nyaris merah yang artinya berisiko tinggi terhadap gempa. “Jadi seharusnya izin-izin di kawasan risiko bencana tidak bisa dikeluarkan sembarangan. Ini adalah tanda-tanda bukti pemberian izin pertambangan dalam prosesnya bermasalah,” ujar Merah.
Merah berharap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meninjau ulang atau mencabut izin pertambangan tersebut. “Apalagi masyarakat merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses pemberian izin pertambangan,” tutur Merah.
Kementerian ESDM telah memberikan izin perpanjangan kontrak karya PT TMS hingga 33 tahun setelah sempat ditangguhkan selama empat tahun sejak 2017. Izin itu tertuang dalam surat Kementerian ESDM Nomor 163 K/MB.04/DJB/2021 yang terbit pada 29 Januari 2021. Padahal berdasarkan Undang-undang tentang Mineral dan Batu Bara Tahun 2020, kontrak karya hanya boleh diperpanjang dua kali dan masing-masing selama 10 tahun.
Baca Juga: Sebelum Meninggal, Wabup Sangihe Minta Izin Perusahaan Tambang Emas Dibatalkan