Pada webinar tersebut, Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan potensi 850 TCF itu berada di dua lokasi utama.
"Berdasarkan survei awal di tahun 2004, potensi cadangan metana hidrat ada di dua lokasi utama, yaitu perairan selatan Sumatera sampai ke arah barat laut Jawa sebesar 625 TCF dan di Selat Makassar sebanyak 233,2 TCF," jelasnya.
Selain itu metana hidrat juga tersebar di lepas pantai Simeuleu, Palung Mentawai, Selat Sunda, Busur Depan Jawa, Lombok Utara, Selat Makassar, laut Sulawesi, Aru, Misool, Kumawa, Wigeo, Wokam, dan Salawati.
Webinar ini menjadi diskusi metana hidrat skala besar pertama di Indonesia. Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM M Idris F Sihite mengatakan keingintahuan peserta kali ini tidak hanya bagaimana memanfaatkan gas metana hidrat, namun hingga kepada kebijakan dan aspek hukum yang akan digagas pemerintah.
"Dengan peserta yang terdaftar mencapai 1.100 orang, menunjukkan ada antusiasme dari peserta, tidak hanya dari sisi keingintahuan mereka, mengenai bagaimana mengembangkan metana hidrat di Indonesia, namun juga seperti apa kebijakan dan aspek hukum yang akan digagas pemerintah," katanya.
Salah satu narasumber webinar, Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Doddy Abdassah memaparkan gas metana hidrat merupakan sumber daya hidrokarbon nonkonvensional terbesar dan dapat diproduksi secara aman.
Diperkirakan lebih dari 50 persen deposit hidrokarbon bumi tersimpan dalam bentuk gas metana hidrat.
Menurut dia, dibutuhkan analisis yang komprehensif dan terintegrasi dalam eksplorasi dan produksinya, serta riset dan pengembangan teknologi untuk komersialisasi produksi gas metana hidrat.
Indonesia, lanjut Doddy, sangat berpeluang untuk memanfaatkan potensi gas metana hidrat dan harus segera memanfaatkan peluang ini untuk menuju energi fosil yang hijau.
Narasumber lainnya, Professor of International and Comparative Law, School of Law, University of Aberdeen Andrew Partain menjelaskan lokasi-lokasi potensi gas metana hidrat secara global, termasuk di Indonesia.
Partain juga memberi masukan terkait pembangunan berkelanjutan untuk hidrat lepas pantai (offshore hydrate) di Indonesia.
Menurutnya, ESDM dan otoritas terkait perlu bergerak cepat untuk menyiapkan berbagai kebijakan dan kekuatan untuk mengembangkan industri offshore hydrate, mengingat beberapa negara telah mempersiapkan industri ini berjalan pada 2030.