Musababnya, perseroan harus mengeluarkan biaya US$ 150 juta, padahal pendapatannya hanya US$ 50 juta. Utang Garuda, termasuk kepada lessor untuk sewa pesawat, pun membengkak hingga Rp 70 triliun.
Optimisme manajemen pada akhir tahun yang yakin bahwa keuangan Garuda akan mengalami perbaikan sepanjang 2021 menyusut. Target perusahaan mengejar pendapatan sebesar 50 persen dari total 2019 sulit terpenuhi karena berbagai kondisi tak terduga.
Pada Januari hingga Maret, Garuda mengalami penurunan jumlah penumpang karena adanya aturan swab Antigen, pengetatan PSBB, larangan mudik, hingga munculnya strain baru virus corona di Eropa dan India. Ditambah lagi, awal tahun merupakan masa sepi pergerakan atau low season untuk bisnis pariwisata dan turunannya.
“Pandemi ini memang hit-nya gila-gilaan. (Penumpang) Kami pernah drop sampai 90 persen. On average tahun lalu (penumpang) kami cuma 60 persen. Kenapa 60 persen, karena Januari, Februari (berjalan normal), namun Maret pandemi,” ujar Irfan.
Baca: Wawancara Eksklusif Bos Garuda Indonesia: Saat Berdiri Bahkan Kami Sholawat