TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan mengumumkan alokasi anggaran untuk Kartu Prakerja pada tahun 2021 menjadi Rp 20 triliun atau naik Rp 10 triliun dari anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengungkapkan kenaikan anggaran tersebut untuk memberikan efek positif terhadap masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga Direktur Eksekutif Institute of Public Communication (IPC) Radja Napitupulu, mengungkapkan ada empat hal yang perlu dibenahi dari program beranggaran jumbo tersebut, agartepat sasaran.
"Efektivitas Kartu Prakerja sangat perlu dievaluasi menyeluruh. Agar anggaran sebesar itu jelas peruntukkannya," ujar Radja dalam keterangan tertulis, Ahad, 6 Juni 2021.
1. 100 ribu penerima tak jelas penggunaan dananya
Radja menjelaskan, menurut data program Kartu Prakerja hingga 30 April 2021 terdapat 2,77 juta penerima SK Kartu Prakerja. Namun, sebanyak 44 ribu orang yang telah menerima SK, dicabut kepesertaannya, sehingga tersisa 2,73 juta penerima.
Dari angka 2,73 juta penerima itu, lanjut Radja, seluruhnya telah mendapatkan alokasi pelatihan dengan menggunakan dana Rp 1 juta per penerima. Namun hingga akhir April 2021, hanya terdapat 2,63 juta penerima yang telah menyelesaikan minimal satu pelatihan.
Sehingga ada selisih 100 ribu penerima yang tidak jelas penggunaan dana pembelian pelatihannya. "Itu totalnya mencapai Rp100 miliar dana pembelian pelatihan yang raib dan tidak jelas," ujar Radja.
2. Besarnya alokasi fee kepada pihak ketiga penyedia jasa latihan
Radja mengungkapkan pihak ketiga penyedia jasa pelatihan peserta Kartu Prakerja, mendapatkan fee sebesar 15 persen dari setiap modul yang dibeli oleh peserta. Adapun pihak ketiga tersebut seperti Bukalapak yang digunakan oleh 33 persen peserta Kartu Prakerja, Tokopedia 26 persen, hingga Sekolahmu 24 persen.
Radja mencontohkan, berdasarkan data dari Kartu Prakerja, total sebanyak 3,7 juta transaksi pelatihan senilai Rp 1,01 triliun telah dibelanjakan. Dengan jumlah tersebut, artinya Bukalapak berhasil menjual pelatihan sebesar 33 persen x Rp 1,01 triliun menjadi senilai Rp 333,3 miliar.
Jumlah ini terbilang cukup besar, jika dibandingkan dengan modul pelatihan gratis yang disediakan Kementerian Ketenagakerjaan atau Kemenaker. Namun, menurut Radja, modul yang disediakan oleh Kemenaker itu kurang diminati para peserta.