TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menyoroti rendahnya daya serap anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan imbasnya terhadap efektivitas pemberantasan rasuah di Tanah Air.
“Daya serap KPK sampai bulan Mei tergolong rendah, ini pertanda KPK tidak bekerja dengan baik dalam pemberantasan korupsi," ujar Achmad Nur Hidayat dalam keterangan tertulis, Jumat, 4 Juni 2021.
Narasi Institute mencatat seharusnya daya serap anggaran KPK sampai bulan Mei mencapai 45 persen. Namun, nyatanya daya serap KPK masih 38,09 persen atau Rp 441 miliar dari Rp 1,15 triliun. Achmad menduga rendahnya serapan anggaran itu disebabkan konflik internal yang berbulan-bulan lembaga antirasuah tersebut.
“Idealnya daya serap KPK mencapai Rp 517,5 miliar dari Rp 1,15 triliun atau 45 persen namun sampai Mei 2021 masih 38,09 persen atau Rp 441 miliar dari Rp 1,15 triliun” ujar Achmad.
Achmad melihat konflik internal akibat tes wawasan kebangsaan telah memberikan dampak negatif bagi kelembagaan KPK. Antara lain terhambatnya penyiapan prasarana bagi dua deputi baru yaitu Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat serta Deputi Koordinasi dan Supervisi, juga terhambatnya pengungkapan kasus korupsi besar seperti krorupsi bansos, benur, Jiwasraya, Asabri dan korupsi di level daerah.
“KPK meminta dana tambahan Rp 403 miliar untuk 2020 sehingga menjadi Rp 1,49 triliun dari Rp 1,15 triliun 2021 dan DPR seharusnya jangan serta merta memenuhinya harus ada target pemberantasan korupsi yang jelas dan kepastian penyerapannya” Ujar Achmad.
Achmad berpendapat bila KPK tak bisa memberi kepastian perbaikan daya serap, sebaiknya lembaga antirasuah tidak perlu diberi tambahan anggaran. Ia menilai dana pemerintah lebih baik diberikan ke sektor yang dapat mempercepat pemulihan ekonomi tinggi.
“Indonesia butuh pemulihan ekonomi, daya serap yang rendah dapat menghambat pemulihan ekonomi. KPK harus beri kepastian tambahan anggaran 2022 akan diserap dan Konflik KPK harus diakhiri” Ujar Achmad Nur Hidayat.
Achmad menilai persoalan TWK telah menyebabkan kerugian seluruh bangsa Indonesia, karena itu KPK harus membayarnya dengan mengakselerasi agenda pemberantasan korupsi.
“KPK harus segera move on, hentikan konflik internal dan rendahnya daya serap tidak boleh terjadi lagi. apalagi di masa kita butuh pemulihan ekonomi yang cepat” ujar Achmad.
BACA: KCIC Hitung Ulang Anggaran SDM untuk Tekan Pembengkakan Biaya Kereta Cepat
CAESAR AKBAR