Sementara itu, di sisi eksternal, cadangan devisa Indonesia terus meningkat dan mencatat rekor tertinggi pada Februari 2021 sebagai dampak dari penurunan impor dan kebijakan nilai tukar yang fleksibel.
S&P memandang kemampuan Indonesia untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri tetap terjaga didukung kebijakan kehati-hatian dalam pengelolaan risiko utang luar negeri korporasi.
Dalam satu tahun terakhir, rasio utang dalam valuta asing juga menurun hingga di bawah 40 persen dari total hutang. Rasio kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah berdenominasi Rupiah juga menurun tajam pada tahun 2020.
Di sisi fiskal, dalam jangka pendek, S&P memperkirakan pemerintah akan mempertahankan kebijakan fiskal yang ekspansif untuk mendorong pemulihan ekonomi, sehingga defisit fiskal akan lebih tinggi dibandingkan rata-rata historisnya.
S&P memandang dukungan fiskal masih dibutuhkan untuk mitigasi dampak pandemi dan mendukung pemulihan ekonomi. Selanjutnya, S&P memperkirakan bahwa Pemerintah akan secara bertahap mengembalikan kebijakan fiskal ke arah yang lebih prudent.
Lembaga itu juga mencatat peran Bank Indonesia dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan meredakan guncangan ekonomi dan keuangan. Langkah Bank Indonesia untuk membeli surat berharga pemerintah di pasar primer sebagai last resort, dapat membantu pemerintah mengelola kebutuhan pendanaan.
Selain itu, langkah bank sentral tersebut dapat turut menurunkan beban bunga ketika pasar keuangan sedang mengalami tekanan. S&P memandang langkah ini tidak terindikasi memberikan dampak signifikan terhadap inflasi dan imbal hasil obligasi.
S&P sebelumnya mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB dan merevisi outlook dari Stabil menjadi negatif pada 17 April 2020.
Baca: Sri Mulyani: Peringkat S&P Berdampak Positif Pada Investasi