Masalah berikutnya, tutur Huda, adalah sumber daya manusia yang masih belum mencukupi untuk masuk ke dalam Industri 4.0. Hal tersebut tercitra dari jumlah peneliti Indonesia yang sangat rendah, yaitu 216 dari 1 juta penduduk. Akibatnya, paten Indonesia juga rendah dibandingkan negara Asean lainnya.
Huda juga menyoroti proporsi penduduk Indonesia yang ahli dalam pemrograman komputer. "Masih sangat rendah, hanya 3,5 persen dari penduduk muda dan dewasa," ujar dia. Angka tersebut hanya unggul dari Thailand dan Filipina. Belum lagi dengan adanya persoalan nilai PISA Indonesia yang masih tertinggal dibandngkan Malaysia, Singapura, dan Thailang.
Persoalan ketiga yang disoroti Huda adalah ketimpangan digital yang masih tinggi dalam hal keahlian dan penggunaan produk digital. Serta, masih banyaknya desa di luar Pulau Jawa yang kesulitan mendapatkan akses sinyal, terutama di Maluku dan Papua. "Ada 70 persen lebih desa yang belum mendapatkan sinyal seluler yang baik," ujar dia.
Dengan demikian, Huda menyimpulkan bahwa proyek Bukit Algoritma itu hanya program pembangunan fisik yang belum mengangjat konteks inovasi. Sebab, ekosistem inovasi di Indonesia masih sangat tendah. "Tidak ada linkage dan sebagainya, membuat ini hanya menjual properti," tuturnya.
Selain itu, Bukit Algoritma yang tidak mengedepankan sisi SDM bisa menyebabkan ketimpangan digital menjadi lebih lebar. Artinya ketimpangan digital kota desa bisa menjadi lebih besar pelebarannya.
"Jangan sampai bukit algoritma ini kalau dibangun sekarang dengan permasalahan yang ada hanya akan menjadi gimmick semata," tutur Huda.
BACA: Stafsus Erick Thohir: Amarta Karya Hanya Kontraktor di Proyek Bukit Algoritma
CAESAR AKBAR